MENGENAL RUWATAN
( Upacara Tradisi Jawa )
Ruwatan Murwakala (Murwatkala)
Ritual tradisional ini dilaksanakan dengan pergelaran Wayang Kulit
dengan cerita Murwakala. Tujuannya, agar orang yang diruwat hidup
selamat dan bahagia, terlepas dari nasib jelek. Dalam cerita wayang,
konon Kala yang putra salah kedaden (berasal dari kama, mani, Bathara
Guru yang tumpah ke laut, karena saat orgasme didorong Bathari Uma) dan
menjadi raksasa jahat, memang diberi hak memangsa manusia yang termasuk
kategori sukerta. Sukerta, atau Sukarta, artinya tindakan yang baik atau
dicintai. Sukerta dalam cerita Murwakala adalah anak (atau anak-anak)
yang sangat dicintai orangtuanya. Keselamatan dan kebahagiaannya sangat
diperhatikan orang-tuanya karena mereka termasuk dalam golongan Sukerta.
Duapuluh lima (25) macam Sukerta, antara lain
1. Ontang-anting : anak laki-laki tunggal dalam keluarga, tak punya saudara kandung.
2. Unting-unting : anak perempuan tunggal dalam keluarga.
3. Gedhana-gedhini : dua anak dalam keluarga, laki-laki dan perempuan.
4. Uger-uger lawang : dua anak laki-laki dalam keluarga.
5. Kembar sepasang: dua anak perempuan dalam keluarga.
6. Pendhawa : lima anak laki-laki dalam keluarga.
7. Ngayomi : lima anak perempuan dalam keluarga.
8. Julungwangi : anak lahir pada saat matahari terbenam.
9. Pangayam-ayam : anak lahir saat tengah hari.
Termasuk juga dalam daftar Sukerta, mereka yang dianggap melakukan kesalahan karena kejadian berikut.
1. Menjatuhkan dandang, ketika menanak nasi.
2. Mematahkan gandhik, alat pemipis jamu.
Mereka yang masuk dalam daftar Sukerta harus diruwat dengan Ruwatan
Murwakala supaya tidak menjadi mangsa Kala. Upacara ini dianggap sangat
sakral, sehingga harus dilakukan dengan cermat.
Kisah Murwakala
Syahdan, di suatu sore yang indah, Bathara Guru dan sang istri Dewi
Uma melanglang buana di antariksa (sight seeing mengelilingi jagat raya)
dengan menunggang Lembu Andini. Pemandangan saat itu sungguh
menakjubkan. Segalanya terlihat begitu indah. Bathara Guru pun terkesima
melihat kecantikan sang Dewi. Di bawah siraman semburat jingga cahaya
surya sore itu, Dewi Uma nampak begitu menawan. Paling tidak dalam
pandangan Bathara Guru, sang suami tercinta. Tak pelak lagi, berahi Guru
pun bangkit hingga ke ubun-ubun dan serta-merta mengajak sang istri
untuk bercinta. Kendati heah heeh, sebagai istri yang sadar lingkungan,
Dewi Uma mencoba menolak secara halus karena ini bukanlah saat yang
tepat. Apalagi di awang-awang, tempat terbuka seperti itu. Namun
apadaya, Bathara Guru yang sudah berada dalam suasana berahi memaksakan
kehendaknya. Dengan sedikit menjambak rambut sang istri, terjadilah
hubungan cinta tersebut. Menjelang Guru mencapai puncak, Dewi Uma
mendorongnya dan melepaskan diri dari pelukan Guru yang penuh gejolak
nafsu. Akibatnya, kamabuah cinta sang Guru tumpah ke dalam lautan, dan
menjelma jadi raksasa besar yang dinamakan Kala. Jadi, Kala adalah satu
produk yang salah, dan lantaran kesalahan itu, meskipun anak Dewa-Dewi,
Kala tumbuh menjadi raksasa sangat jahat, yang selalu ingin memangsa
daging manusia.
Bathara Guru ayahnya, yang pembawaannya memang agak grusa-grusu, memberi
izin kepadanya untuk memangsa orang-orang sukerta. Akan tetapi, setelah
dibicarakan dengan Bathara Narada, patihnya, Guru menyadari bahwa
santapan untuk sang Kala akan terlalu banyak. Bathara Guru kemudian
menulis sebuah mantra, lafazh, di dada Kala. Ketentuannya, siapa saja
yang dapat membaca mantra tersebut oleh Kala harus dianggap sebagai
ayahnya (maksudnya ayah si Kala itu, pen.), meskipun orang itu masih
kanak-kanak.
Ternyata hanya sedikit orang yang mengetahui dan bisa membaca mantra di
dada Kala. Kurban yang menjadi mangsa Kala masih cukup banyak. Tak
kurang akal, Bathara Guru menemukan kiatnya. Lalu memutuskan turun ke
dunia, menyamar sebagai dalang dengan nama Ki Dalang Kandhabuwana. Kala
pun menyerah pada Ki Dalang, dan dia diperintah tinggal di hutan
Krendhawahana. Kala setuju dan tunduk, tidak akan mengganggu anak-anak
sukerta, yang telah diangkat anak oleh Ki Dalang. Mereka itu para
sukerta yang telah menjalani Ruwatan Murwakala.

Kala memohon diberkati dengan Santi Puja Mantra, Ki Dalang pun
mengabulkan lalu memandikannya dengan air dan bunga-bunga. Sebelum pergi
ke hutan, Kala minta bekal sesaji berupa alat-alat pertanian dan hasil
bumi, alat dapur, ternak seperti sapi, kerbau, kambing, ayam, itik dan
sebangsanya. Masih ditambah kain panjang, beberapa jenis makanan,
tikar-bantal dan selimut, yang akan dipakai selama perjalanannya menuju
ke hutan. Sepeninggal Kala, Ki Dalang memerintahkan kepada Bima dan
Bathara Bayu untuk mengusir semua bala tentara Kala dengan menggunakan
pecut dan sapu lidi yang diikat dengan tali perak.
Menutup ritual Ruwatan Murwakala, Ki Dalang memotong rambut para sukerta
dan memandikan mereka dengan air yang dicampur beberapa macam bunga.
Hikmah dari Ruwatan Murwakala
1. Menurut kisah, Kala adalah produk dari kama-salah, yaitu mani yang
salah. Jadi semacam pemberitahuan bahwa hubungan seksual antara pria
dan wanita, hendaknya dilakukan dengan cara yang baik, pada waktu dan
tempat yang layak. Dan tidak hanya menonjolkan nafsu badaniah, sehingga
akan membuahkan anak yang wataknya kurang baik.
2. Bekal dan sesaji yang diminta Kala itu merupakan barang-barang
kebutuhan hidup manusia, yang juga melambangkan cinta kepada Ibu
Pertiwi, dengan segala hasil buminya.
Hal-hal penting dalam ritual Ruwatan
1. Dalang yang membawakan lakon Ruwatan Murwakala harus memenuhi
kriteria dalang yang bijak, mumpuni dalam seni pedalangan. Secara
simbolis, dia akan menjadi ayah angkat para sukerta.
2. Upacaranya harus dilakukan dengan baik, cermat dan benar. Para
sukerta dan keluarganya hendaknya bisa terlibat dan menghayati dengan
perasaan mendalam. Dengan demikian akan mengerti dan memahami makna
kidung, berupa tembang dan mantra suci, yang dibawakan Ki Dalang. Dalam
upacara ini, lazimnya para sukerta dan orangtuanya mengenakan busana
tradisional Jawa. Sebelum pergelaran Wayang kulit, para sukerta mohon
restu dari orangtuanya masing-masing. Selama pergelaran Wayang kulit
yang akan dilanjutkan dengan ritual, pemotongan rambut dan mandi suci,
para sukerta mengenakan pakaian kain putih. Secara mistis, putih
menunjukkan kesucian.
3. Air suci untuk memandikan para sukerta berasal dari 7 (tujuh) sumber air.
Catatan: Sukerta yang diruwat tidak hanya anak-anak. Dapat juga orang
dewasa yang dianggap melakukan kesalahan atau kelalaian berat, sehingga
membuat orang lain menderita. Zaman dulu, yang dianggap kelalaian atau
kesalahan berat antara lain
a. Orang yang menggulingkan dandang ketika menanak nasi.
b. Orang yang mematahkan gandhik, batu penggiling jamu.
Kata Kala, harfiah berarti waktu. Ada waktu baik dan ada waktu jelek
bagi setiap orang. Bila seseorang menderita karena berbagai alasan,
seperti musibah kecelakaan, sakit, berbuat salah dan seterusnya,
dikatakan orang itu mengalami waktu jelek atau nahas, naas. Setiap orang
akan selalu berusaha membuang sial, menghindari waktu naas, dan
berusaha hidup dalam keselamatan dan kebahagiaan.
Dewasa ini, lebih-lebih dalam periode krisis multidimensi ini, banyak
orang dewasa merasa tidak aman. Karena itu semakin banyak saja orang
ikut dalam Ruwatan, agar tidak menjadi sasaran Kala dengan membuang
nasib jelek atau sial.
Bathara Guru sebagai penguasa Jagat Raya, turun ke dunia menyamar
sebagai dalang untuk memberitahu para sukerta dan orang-orang yang lain,
apa yang harus dilakukan agar tidak menjadi mangsa Bathara Kala.
Nama Kandhabuwana (kandha artinya mengatakan, memberi nasihat, buwana
berarti dunia), menyiratkan siapa yang menuruti nasihat Ki Dalang akan
selamat dan bahagia. Itulah latar belakang ritual Ruwatan Murwakala.
Ruwatan Murwakala dapat dilakukan secara pribadi, terutama bagi kalangan
mampu, atau secara bersama-sama karena biayanya cukup tinggi. Lazimnya
diselenggarakan kalangan yayasan atau paguyuban pencinta budaya Jawa. Di
antaranya adalah:
a. Institut Javanologi Panunggalan, Yogyakarta, setiap tahun
menyelenggarakan Ruwatan Murwakala. Upacara ini tidak hanya diikuti para
sukerta dari dalam negeri, tapi juga dari mancanegara (Eropa, Asia,
Amerika, dsb.)
b. Institut Pudya Raja, pimpinan Prof. DR. Ki Wisnoe Wardhana, juga menyelenggarakan upacara ruwatan serupa.
Dari segi bahasa, akar kata sukerta adalah suker, atau kotor. Logikanya,
sesuatu yang kotor harus dibersihkan. Dalam artian ini, manusia yang
kotor harus disucikan atau diruwat. Ruwat artinya menghapus atau
meniadakan kekuasaan, maksudnya menghapus atau membebaskan dari kutukan
nasib jelek/sial, musibah dan malapetaka.
Beberapa contoh ritual Ruwatan
Ruwatan di Karaton Surakarta
Pada 17 Januari 1998, untuk pertama kalinya sepanjang sejarah Karaton
Surakarta diadakan Ruwatan Murwakala. Sri Sunan Paku Buwana XII sendiri
termasuk yang diruwat, bersama dengan 32 putra-putrinya dan 17
putra-putri menantu. Dalam sejarah dinasti Mataram pada abad ke XVII,
Sultan Agung juga pernah diruwat ketika masih menjadi Putra Mahkota.
Upacara Ruwatan Murwakala di Karaton Surakarta dimulai jam sembilan
pagi. Sebagai lambang kesucian, para sukerta mengenakan pakaian putih
seperti Brahmana. Diawali dengan acara sungkeman untuk menghormat Sri
Sunan di nDalem Ageng Prabasuyasa, pergelaran wayang kulit Murwakala
dengan dalang senior Ki Panut Darmoko dari Nganjuk, Jawa Timur,
dilangsungkan di Sasana Handrawina.
Ruwatan berjalan dengan sangat khusyuk. Seluruh keluarga istana telah
bersiap diri dalam keadaan suci lahir dan batin. Semua tamu pun
diwajibkan mengenakan pakaian kejawen lengkap. Hadirin mengikuti
jalannya upacara dengan khidmat dan selama waktu itu tidak diperkenankan
makan, minum atau merokok.
Perangkat gamelan Karaton yang bernama Kyai Manis dan Manis Rengga
mengiringi pertunjukan wayang kulit. Berbagai macam sesaji digelar di
sekitar layar. Rambut para Sukerta satu demi satu dipotong sedikit oleh
Ki Dalang. Permandian suci dengan air bunga juga dilakukan oleh Ki
Dalang. Sinuwun sendiri rambutnya dipotong dan dimandikan oleh bibinya,
GRAyu Bratadiningrat, yang putri dari Sri Paku Buwana X.
Maksud Ruwatan Karaton Surakarta
Merasa sangat puas dan lega setelah menggelar upacara Ruwatan tersebut,
Sinuwun berterima kasih kepada Ki Dalang Panut Darmoko yang telah
melaksanakan ruwatan dengan selamat dan sempurna. Sedang Ki Dalang pun
merasa mendapat kehormatan yang tinggi karena untuk pertama kalinya
dipercaya melaksanakan ruwatan di Karaton. Dalang-dalang kondang lain di
Solo tidak berani melakukan upacara yang istimewa dan sakral ini.
Kepada media Sinuwun berkata: Ruwatan ini diselenggarakan demi
keselamatan keluarga, Karaton beserta seluruh isinya. Diharapkan,
peristiwa ini akan memberi dampak yang baik kepada bangsa dan negara,
yang tengah mengalami krisis ekonomi. Ruwatan ini tidak perlu dianggap
sebagai sesuatu yang luar biasa, ini semata-mata pelaksanaan wangsit
untuk membebaskan kita dari pengaruh sukerta yang membahayakan.
Komentar Sri Mangkunagara IX
Pemangku Pura Mangkunagaran, KGPAA Mangkunagara IX menyambut positif
Ruwatan Karaton Surakarta, dan yakin ruwatan tersebut secara spiritual
akan memberi dampak positif bagi banyak hal, termasuk kepada Pura
Mangkunagaran dan negara ini, karena ruwatan adalah manifestasi doa dan
permohonan kita kepada Tuhan Yang Mahasuci. Ruwatan Abdi Dalem Karaton
Surakarta
Dalam bulan Sura banyak diadakan upacara Ruwatan. Paguyuban Abdi Dalem
Karaton Surakarta cabang Prambanan, pada Sura tahun 2000 lalu juga
melakukan upacara ruwatan untuk para anggotanya.
Ruwatan dipimpin oleh KRHT Kusumo Tanoyo dengan melakukan doa di depan
sesaji berupa air yang dicampur beberapa bunga. Kemudian dengan khidmat
dilantunkan Tembang Dandanggula, yang intinya merupakan permohonan
kepada Tuhan Yang Makakuasa agar memberkahi seluruh Abdi Dalem, sehingga
mereka hidup dengan selamat, bahagia dan sejahtera
Semua pengikut upacara dibersihkan dengan air suci, tidak seluruh badan
melainkan hanya kepala, lalu sedikit rambut juga dipotong. Air yang
telah dimantrai itu dipercaya mengandung daya supranatural kuat yang
mempu mengobati segala penyakit, fisik maupun kejiwaan. Ruwatan ini
tidak serumit Ruwatan Murwakala, yang kaya dengan nilai-nilai budaya,
namun cukup penting untuk mempererat silaturahmi di antara para Abdi
Dalem Karaton Surakarta.
Ruwatan Seniman-Seniwati Yogyakarta
Bagi para Seniman di Yogyakarta, ritual tradisional Ruwatan tetap
dianggap penting dan perlu diadakan. Dipimpin dalang sepuh Ki Timbul
Hadiprayitno, ruwatan yang mereka selenggarakan diikuti banyak artis
terkenal. Untuk mereka, tujuan pokok ruwatan adalah supaya dapat hidup
selamat, tenang dan berkecukupan. Juga untuk menunjukkan kesadaran
mereka dalam melestarikan budaya tradisional.
Ruwatan Pejuang Yogyakarta
Dalam memperingati peristiwa Yogya Kembali dari agresor Belanda pada
1950, para veteran lanjut usia, bersama-sama para pejuang kemerdekaan
dari generasi yang lebih muda, juga mengadakan upacara Ruwatan. Pada
malam hari 29 Juni 1999, bertempat di bekas kediaman resmi Jendral
Sudirman (alm.), Panglima Angkatan Perang RI pertama, 9 pejuang yang
mewakili rekan-rekannya dimandikan air kembang dalam ritual yang
dipimpin Ki Dalang Timbul Hadiprayitno, yang juga menyiapkan semua
kebutuhan sesaji. Dengan berpakaian putih, ke-9 pejuang dengan setia
mengikuti proses ritual yang berjalan khusyuk: mendengarkan kidung suci,
tembang dan mantra yang dibawakan oleh Ki Dalang, lalu dimandikan air
kembang dan dipotong rambutnya.
Mengapa para veteran melakukan ruwatan?
Ruwatan, demikian mereka tegaskan, adalah permohonan mereka kepada Tuhan
agar hidup selamat, dan dengan berkah Tuhan mereka akan melanjutkan
perjuangan mencapai tujuan asasi dari kemerdekaan, yakni masyarakat adil
dan makmur di Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Mereka berharap,
ada perbaikan dalam semua aspek kehidupan. Keadilan dan kebenaran segera
terwujud sehingga bisa dirasakan rakyat kecil.

Acara Ruwatan yang berakhir sesudah tengah malam itu dilanjutkan dengan
pergelaran wayang kulit dengan cerita Wisanggeni Gugat hingga pagi hari.
Dr. Humar Atmaja, salah seorang penyelenggara yang mewakili generasi
penerus, menyatakan: Wisanggeni Gugat sesuai dengan harapan generasi
muda. Wisanggeni, putra Arjuna dari Dewi Dersanala, adalah figur
generasi muda yang suka bicara apa adanya, berani berjuang untuk
keadilan dan kebenaran. Tidak takut kepada siapapun, termasuk para dewa
dan orang-orang tua yang berbuat salah.
Mantra dalam ritual Ruwatan Murwakala
lafazh yang berdaya supranatural sangat kuat sehingga tujuan ritual
tercapai. Paling tidak ada 2 (dua) mantram sakti yang dilantunkan selama
Ruwatan. Diantaranya Rajah Kalacakra dan Caraka Balik.