Sabtu, 22 November 2014

“PENGENDHANG GAMBEN”


                Sebelum menjadi ‘dhalang’, Ki Nartosabdho (KNS, 1925-1985) dikenal sebagai ‘pengendhang’ ulung. Keulungan dalam memainkan ‘kendhang’ terbentuk karena bakat, latihan, kesediaan untuk belajar, dan pengalaman beliau selama malang melintang dalam jagad hiburan Jawa melalui panggung pertunjukan ‘kethoprak’, ‘wayang wong’, dan ‘wayang purwa’. Sebelum bergabung dengan Ngesthi Pandhawa pada 1945, KNS telah menjadi ‘pengendhang’ dari beberapa kelompok ‘kethoprak’ dan ‘wayang wong’, serta pernah menjadi ‘pengendhang’ Ki Pujo Sumarto (Kuwasa Klaten) yang sekaligus dianggap sebagai guru beliau dalam bidang ‘pedhalangan’. Dengan pengalaman yang dimilikinya itu, tidak mengherankan apabila KNS menguasai ‘garap kendhangan’ untuk ‘klenengan’, ‘beksan’, ‘kethoprakan’, dan ‘wayangan’. Dalam perkembangan, beliau juga menguasai ‘garap kendhangan’ ‘Jawa Timuran’ (Surabayan dan Banyuwangen), ‘Pasundhan’, dan Bali.
Apabila kita sering mendengarkan kaset rekaman ‘gendhing-gendhing Jawa’ yang disajikan oleh Paguyuban Karawitan Jawi Condhong Raos di bawah pimpinan KNS (catatan: tidak semua rekaman ‘gendhing-gendhing’ oleh Condhong Raos KNS bertindak sebagai ‘pengendhang’), kita dapat mengidentifikasi tentang ciri ‘kendhangan’ beliau, antara lain: ‘kebukan resik’, sehingga menghasilkan suara kendhang yang ‘bening’; trampil dengan kekayaan ragam ‘sekaran’ yang khas; permainan tempo yang memikat; dinamis dengan aksentuasi-aksentuasi pada bagian tertentu; volume keras, tetapi tidak ‘mbrebegi’. Kesan ini sangat kuat terutama apabila kita mendengarkan rekaman-rekaman produksi Lokananta pada akhir 1960an dan awal 1970an.
Tentang teknik memainkan ‘kendhang’ ini saya pernah mendapatkan pelajaran secara langsung dari beliau, khususnya tentang cara menghasilkan bunyi ‘kendhang’ yang ‘bening’. Dalam sebuah kesempatan beliau juga pernah memberikan nasihat: “Le, yen ngendhang kuwi kudu nggleleng, ning sing nggleleng kendhangane, dudu pengendhange”. Nasihat ini merepresentasikan cara KNS memainkan ‘kendhang’. Badan harus ‘ndegeg’ (tegak). Badan dan lengan beliau tidak banyak bergerak dalam memainkan ‘kendhang’ baik ‘batangan’, ‘ciblon’, ‘wayangan’, karena yang digerakkan adalah sebatas bagian pergelangan tangan dan jari-jarinya; bagian lengan tidak banyak bergerak. Almarhum pelawak Basiyo, dalam sebuah rekaman bersama KNS, menyatakan “drijine bisa mrithili dhewe-dhewe”. Namun, anehnya mampu menghasilkan ‘kebukan’ dengan volume yang keras, tetapi tidak memekakkan telinga, apalagi kalau menggunakan ‘kendhang’ kesayangan beliau yang telah mengantar melambungkan namanya, yang kemudian diberi nama “Kyai Rejeki”. ‘Kendhangan’ beliau benar-benar ‘nggleleng’, berbeda dari ‘kendhangan’ para ‘pengendhang’ lainnya. ‘Kendhangan’ beliau kemudian menjadi ‘kiblat’ bagi para ‘pengendhang’ generasi berikutnya. Bagi saya pribadi, mendengarkan ‘kendhangan’ KNS, merangsang tubuh untuk bergerak menari, bahkan menjadikan saya ‘mesam-mesem’ sendiri seperti orang gila, karena memukau hati dan menjadi hiburan tersendiri. Bagi para penari “Ngesthi Pandhawa”, ‘kendhangan’ KNS mampu membimbing gerak-gerak tari yang harus dibawakan dan dapat membangkitkan semangat bagi para penari.
Masyarakat umum mengenal kehebatan permainan ‘kendhang’ KNS antara lain melalui ‘lelagon’ karya cipta beliau yang berjudul “Swara Suling”. Dalam repertoar kreasi itu KNS mampu memainkan delapan atau sembilan ‘kendhang’ yang ditabuhnya dengan penuh ‘gusto’. Permainan ‘kendhang’ beliau khususnya dalam mengiringi “Lelagon Swara Suling” telah menjadi daya tarik tersendiri bagi pertunjukan “Wayang Wong Ngesthi Pandhawa” di Semarang pada pertengahan dasawarsa 1950an sampai 1960an. Tentang permainan ‘kendhang’ untuk “Swara Suling” ini, para pembaca dapat mendengarkan melalui rekaman kaset produksi Lokananta Surakarta, bertajuk “Ibu Pretiwi” dan “Lumbung Desa”. Melalui rekaman kaset itu, kiranya kita dapat bersepakat terhadap pendapat, bahwa KNS adalah “Pengendhang Gamben” (“Pengendhang” Ulung, “Pengendhang” Maut). Bagaimana ekspresi KNS ketika menjadi ‘pengendhang’, pembaca yang budiman dapat melihat foto koleksi saya yang merupakan tinggalan dari KNS di bawah ini. KNS tampak serius memainkan ‘kendhang’ dan memperhatikan adegan dalam sebuah pertunjukan di “Ngesthi Pandhawa”. Sayang, tidak ada keterangan tentang titimangsa dan peristiwa yang dapat digunakan untuk memberikan informasi lebih banyak tentang foto itu. (Dhanang Respati Puguh, Gubug Sedangmulyo Semarang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar