Ritual Larung Sesaji di Telaga Ngebel Meriah
Ponorogo (Antara Jatim) - Perayaan
"Suroan" atau pergantian tahun baru Islam yang jatuh pada 1 Muharam
1435 Hijriah berupa larung sesaji buceng nasi beras merah di objek wisata
Telaga "Ngebel", Ponorogo, Jawa Timur, Selasa (5/11), berlangsung
meriah.
Ribuan wisatawan dari berbagai daerah memadati hampir separuh jalan lingkar yang mengelilingi waduk alami yang berlokasi di Kecamatan Ngebel tersebut.
Ritual tahunan yang menjadi salah satu puncak perayaan Suroan di Kota Reyog tersebut terkesan semakin semarak dengan aneka hiburan tradisional, di sekitar lokasi pelarungan.
Prosesi pelarungan ditandai dengan arak-arakan dua tumpeng raksasa yang disebut Buceng Agung dan Buceng Purak oleh sejumlah pemuka adat mengelilingi Telaga Ngebel.
Selesai pawai yang diiringi pasukan berseragam adat ala kerajaan dan sejumlah gadis berpakaian putri keraton, buceng agung dari nasi beras merah dan sejumlah buah serta sayuran itu kemudian dilarung (ditenggelamkan) di tengah Telaga Ngebel.
Sementara buceng purak yang berisi aneka jajanan pasar, hasil bumi, buah serta sayuran diperebutkan oleh warga di pinggir telaga.
"Larungan ini dilakukan setiap 1 Muharam. Ini sebagai wujud puji syukur kami warga sekitar Ngebel karena setahun ini telah diberi rahmat rezeki dan keselamatan oleh Tuhan," kata Ketua Penitia Larungan Ngebel 1435 H KRT Hartoto Dwijo.
Menurut Hartoto, ritual larungan sesaji diyakini sebagai kegiatan untuk tolak bala atau menjauhkan masyarakat Ponorogo, khususnya yang tinggal di sekitar Telaga Ngebel agar dijauhkan dari segala marabahaya.
"Dulu sebelum ada larungan, sering terjadi kecelakaan orang tenggelam. Setelah ada larungan, kejadian itu menjadi sangat langka, bahkan kadang setahun pun tidak ada musibah apapun di sini," ujarnya.
Namun, ia tidak mau upacara ini dimaknai sebagai upaya memberi sesembahan kepada makhluk-makhluk gaib di Telaga Ngebel.
Menurutnya, acara ini murni ucapan syukur kepada Yang Maha Kuasa. "Tujuan lainnya adalah sebagai daya tarik wisata, yaitu dari sisi budayanya yang menarik," tandasnya.
Ia juga menyatakan bahwa dengan minimnya kecelakaan tenggelam membuat kunjungan wisata ke Telaga Ngebel semakin banyak tiap saat, baik saat liburan maupun hari-hari biasa.
Hotel, penginapan dan usaha kulinerpun meningkat jumlahnya. "Ini efek ekonomi yang bisa dirasakan warga sini," katanya.
Perayaan larung sesaji dalam rangka menyambut tahun baru Islam di Tekaga Ngebel tersebut diperkirakan disaksikan tak kurang dari 10 ribuan wisatawan dari berbagai daerah.
Banyak pula wisatawan yang datang dari luar Ponorogo. In terlihat dari sejumlah rombongan yang menggunakan kedaraan dengan nomor polisi luar Ponorogo. (*)
Ribuan wisatawan dari berbagai daerah memadati hampir separuh jalan lingkar yang mengelilingi waduk alami yang berlokasi di Kecamatan Ngebel tersebut.
Ritual tahunan yang menjadi salah satu puncak perayaan Suroan di Kota Reyog tersebut terkesan semakin semarak dengan aneka hiburan tradisional, di sekitar lokasi pelarungan.
Prosesi pelarungan ditandai dengan arak-arakan dua tumpeng raksasa yang disebut Buceng Agung dan Buceng Purak oleh sejumlah pemuka adat mengelilingi Telaga Ngebel.
Selesai pawai yang diiringi pasukan berseragam adat ala kerajaan dan sejumlah gadis berpakaian putri keraton, buceng agung dari nasi beras merah dan sejumlah buah serta sayuran itu kemudian dilarung (ditenggelamkan) di tengah Telaga Ngebel.
Sementara buceng purak yang berisi aneka jajanan pasar, hasil bumi, buah serta sayuran diperebutkan oleh warga di pinggir telaga.
"Larungan ini dilakukan setiap 1 Muharam. Ini sebagai wujud puji syukur kami warga sekitar Ngebel karena setahun ini telah diberi rahmat rezeki dan keselamatan oleh Tuhan," kata Ketua Penitia Larungan Ngebel 1435 H KRT Hartoto Dwijo.
Menurut Hartoto, ritual larungan sesaji diyakini sebagai kegiatan untuk tolak bala atau menjauhkan masyarakat Ponorogo, khususnya yang tinggal di sekitar Telaga Ngebel agar dijauhkan dari segala marabahaya.
"Dulu sebelum ada larungan, sering terjadi kecelakaan orang tenggelam. Setelah ada larungan, kejadian itu menjadi sangat langka, bahkan kadang setahun pun tidak ada musibah apapun di sini," ujarnya.
Namun, ia tidak mau upacara ini dimaknai sebagai upaya memberi sesembahan kepada makhluk-makhluk gaib di Telaga Ngebel.
Menurutnya, acara ini murni ucapan syukur kepada Yang Maha Kuasa. "Tujuan lainnya adalah sebagai daya tarik wisata, yaitu dari sisi budayanya yang menarik," tandasnya.
Ia juga menyatakan bahwa dengan minimnya kecelakaan tenggelam membuat kunjungan wisata ke Telaga Ngebel semakin banyak tiap saat, baik saat liburan maupun hari-hari biasa.
Hotel, penginapan dan usaha kulinerpun meningkat jumlahnya. "Ini efek ekonomi yang bisa dirasakan warga sini," katanya.
Perayaan larung sesaji dalam rangka menyambut tahun baru Islam di Tekaga Ngebel tersebut diperkirakan disaksikan tak kurang dari 10 ribuan wisatawan dari berbagai daerah.
Banyak pula wisatawan yang datang dari luar Ponorogo. In terlihat dari sejumlah rombongan yang menggunakan kedaraan dengan nomor polisi luar Ponorogo. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar