Jakarta – Menonton wayang bagi generasi muda saat ini mungkin merupakan hal yang langka. Kalaupun ada, banyak anak muda kita yang kurang tertarik menontonnya.
Hal tersebut terjadi karena mereka kurang memahami falsafah yang terkandung dalam wayang dan minimnya acara pertunjukan wayang serta pelestariannya. Padahal, dalam pertunjukan wayang, banyak sekali pesan moral yang disampaikan kepada para penontonnya.
Wayang mengajarkan kita untuk cinta tanah air, hormat kepada orang tua, termasuk membangun karakter bangsa. Tidak heran bila pada tahun 2003, UNESCO menetapkan wayang Indonesia sebagai masterpiece budaya dunia (world heritage).
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik saat meresmikan Teater Wayang di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, Minggu (21/3) mengatakan, wayang merupakan salah satu karya budaya asli Indonesia yang dapat digunakan untuk membangun karakter bangsa.
“Tugas kita tidak semata-mata untuk melestarikan karya-karya budaya seperti wayang, tetapi juga menjadikan karya-karya budaya tersebut bagian dari kehidupan kita sehara-hari. Ini bukan tugas yang mudah, apalagi dalam menanamkan falsafah-falsafah yang ada di dalam wayang kepada anak-anak,” ujarnya. Membangun karakter bangsa sudah saatnya dimasukkan dalam kurikulum pendidikan nasional.
Sementara itu, Ketua Umum Serikat Nasional Pewayangan Indonesia (SENA WANGI) Solichin mengatakan kebutuhan akan teater wayang Indonesia menjadi mendesak semenjak UNESCO menetapkan wayang Indonesia menjadi masterpiece budaya Indonesia (world heritage). Selain itu, keberadaan teater wayang Indonesia erat kaitannya dengan pendidikan dan pariwisata.
”Teater wayang Indonesia menjadi tujuan wisata khususnya untuk DKI Jakarta dan merupakan ajang kreativitas bagi seniman wayang,” ujarnya. Dia berharap, ke depan, teater wayang Indonesia bisa berkembang dan menjadi andalan tampilan seni budaya Indonesia.
Tontonan Menarik
Untuk pertama kalinya, teater wayang Indonesia menampilkan The Indonesian Opera Drama Wayang Swargaloka dengan judul “Sumantri, Antara Kesetiaan dan Pengabdian”. Konsep pertunjukan wayang kali ini memang berbeda dengan pertunjukan wayang pada umumnya.
Pertunjukan wayang dengan judul “Sumantri” ini dibuat kolaborasi antara pertunjukan wayang orang, wayang kulit, tari dan teater. Pertunjukan yang hanya berlangsung 40 menit ini menjadi tontonan yang menarik. Musik yang digunakan juga tidak hanya gamelan, tetapi juga ada musik rap dimasukkan di salah satu adegan. Semua adegan menggunakan bahasa Indonesia.
Tidak ketinggalan dalam pertunjukan wayang tersebut juga dimasukkan unsur sulap. Inovasi-inovasi baru yang dilakukan dalam sebuah pertunjukan wayang sanggup menarik perhatian penonton.
Bukan hanya itu, baik anak-anak maupun remaja yang mungkin selama ini belum pernah melihat pertunjukan wayang atau yang kurang suka dengan wayang, merasa terhibur dan senang terhadap wayang. Terlihat jelas mereka begitu asyik menikmati cerita wayang yang disampaikan dalam bahasa Indonesia. Tidak satu pun anak-anak dan remaja yang beranjak dari tempat duduk mereka selama pertunjukan berlangsung. Karena disampaikan dalam bahasa Indonesia, pesan moralnya pun sampai ke penonton.
Bahkan, Menbudpar berencana mengajak sutradara-sutradara muda seperti Hanung Bramantio untuk membuat cerita wayang dengan penata musik yang dikelola Dwiki Darmawan.
“Sumantri” mengisahkan tentang sosok Bambang Sumantri dari padepokan Jati Sarana yang memiliki wajah rupawan. Namun sayang, dia menjadi lupa diri karena berselimut kesaktian, bertopeng wajah rupawan, membuat dia lupa akan janji mengabdi kepada negara Maespati.
Bahkan, dia melupakan adik kandungnya, Sukrasana yang siang malam selalu merindukannya. Rasa sombongnya bertambah manakala dia berhasil membawa Dewi Citrawati atas perintah Prabu Harjuna Sasrabahu. Sumantri pun tergelincir akibat kesombongannya dan dalam keadaan terjepit, dia baru ingat akan saudara kandungnya Sukrasana.
Berbeda dengan Sumantri, Sukrasana dengan tulus dan ikhlas membantu mengatasi segala kesulitan yang sedang dihadapi oleh kakak kandungnya. Pertolongan yang penuh keikhlasan tersebut justru berbuah malapetaka hanya karena Sukrasana berwajah buruk. Sumantri merasa malu bila orang-orang di Maespati mengetahui dirinya memiliki saudara yang berwajah buruk, apalagi bila diketahui oleh Prabu Harjuna Sasrabahu dan Permaisurinya, Dewi Citrawati. Sebuah keikhlasan sejati dari saudara kandung terlupakan seiring dengan takhta maha patih di Maespati untuk Sumantri.
OLEH: STEVANI ELISABETH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar