Sabtu, 21 Maret 2015

Sanggit Lakon Saramba Kusuma

Oleh Mawan Sugiyanto pada 11 April 2013 pukul 19:19
Sanggit Lakon Saramba Kusuma

Ki Nanang HP membawakan lakon Saramba Kusuma di Ulang Tahun PSMS ke 2 di Monumen Jaten, Karanganyar. Lakon ini memang tidak tanggung-tanggung dalam olah sanggitnya. Tokoh seterkenal Karna diubah asal-usulnya, tokoh yang semua orang kenal wayang pasti mengetahui bahwa Karna bukan anak Pandu. Dalam cerita mahabharata adalah putra Dewa Bethara Surya, Dewa penguasa Matahari dengan Dewi Kunthi. Saat itu Dewi Kunthi menggunakan ajian yang bisa memanggil Dewa, dan ketika itu yang datang adalah Bathara Surya. Dalam kasus ini pun juga ada perdebatan, apakah Dewa yang datang itu “tega” berbuat menghamili Kunthi, atau hamilnya Kunthi sebagai wujud anugrah? Apakah proses hamilnya Kunthi oleh Dewa itu layaknya cara laki-laki menghamili perempuan? Biarlah sanggit yang berjalan menyelesaikannya.

Kembali ke Lakon Saramba Kusuma, tentunya banyak yang bertanya, mengapa bisa demikian? Tentunya Ki Dalang punya argumen. Argumennya adalah bahwa para Dewa itu adalah pastinya mahluk yang berperilaku baik, dan setiap datang ke bumi menemui manusia pasti membawa kebaikan. Memang hampir tidak ada cerita di pewayangan yang menunjukkan wayang dari golongan manusia menjadi selevel Dewa karena kebaikannya, meskipun mampu mengalahkan Dewa.

Di sini lah kepiawaian seorang dalang, menunjukkan kondisi kebalikannya, dan juga melihat dari sisi yang berbeda dalam membawakan sebuah lakon. Bagaimana perasaan penonton dibawa untuk memahami lelakonnya Kunthi. Ketika semua orang di negeri Mandura sudah bisa dipastikan menolak keberadaan bayi dalam kandungan Kunthi. Ketika tidak ada tempat lain untuk mengadu, tentunya hanya keyakinan yang bisa mematahkan bahwa dalam setiap kesulitan ada kemudahan. Pandu bisa jadi khilaf, tetapi Ki Dalang juga punya argumen lain. Ini mungkin terjadi pada jaman dimana seseorang bisa menikah dengan kesepakatan berdua,  tentunya pemahaman ini juga tidak serta merta menjadikan perkawinan mudah, karena ini dilakukan dengan Tuhan dan penciptanya sebagai saksi. Mungkin kita juga perlu bertanya, siapakah yang jadi saksi Adam dan Hawa saat menikah? apakah ada surat nikahnya?

Tentunya Ki Dalang juga mengetahui bahwa ini akan menjadi pandangan yang bertolak belakang. Bahkan bertolak belakang dari kebenaran khalayak dan pengetahuan masyarakat. Saya kira ini pelajaran penting, bahwa kita tidak hanya disarankan untuk tidak “nggumunan” atau mudah percaya dengan pemberitaan khalayak. Banyak dalam kehidupan sehari-hari ditemui kebenaran yang dibenarkan oleh khalayak dengan besarnya jumlah suara, banyaknya spanduk, atau slogan-slogan bersih, peduli dan profesional, tetapi mungkin kan terjadi sebaliknya justru kesalahan besar dilakukan oleh orang-orang yang diyakini akan tindakannya yang selalu benar.

Ki Dalang menawarkan, bagaimana kalau faktanya berbeda? Arjuna dan Karna itu bukan hanya saudara tunggal Ibu, tetapi seayah dan seibu.

Sambil berjalan pulang saya miki, “ya bagaimana kalau partai yang jujur, religius, dan profesional ternyata juga ketangkap KPK? ”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar