Sabtu, 21 Maret 2015

Syech Subakir


Memang susah untuk mengetahui keadaan, asal usul atau gambaran kondisi sebuah masyarakat nun jauh ke masa lalu. Semakin jauh masa itu, semakin gelap gambarannya. Namun, upaya-upaya ahli sejarah dan lainnya untuk menguaknya patut dihargai. Paling tidak ada sedikit gambaran yang mungkin bisa kita lihat, meski tidak sepenuhnya benar satus persen.

Beberapa naskah yang beredar mencoba menggambarkan hal itu. Seperti dalam Serat Jangka Syeh Subakir.
“Sampun sangang ewu warsa, inggih wonten pulo ngriki, dedukuh ing hardi Tidar, saweg antuk sewu warsi, langkung taun puniki, Sech Bakir gawok angrungu, dika niku wong napa, napa ta ayekti janmi, umur dika dene ta kaliwat-liwat”
“Sudah 9000 tahun, ya (saya Semar) sudah ada di pulau ini (Jawa), di pedusunan di Gunung Tidar, tapi baru 1000 tahun berjalan, di sini, Sech Subakir heran mendengarnya, engkau ini makhluk apa, apa benar manusia? Kok usianya luar biasa?”
Demikian perkenalan Semar dengan Syech Subakir. Selama ribuan tahun itu Semar bertapa di Gunung Merbabu dan tidak mengetahui keadaan manusia di Jawa. Gambaran tentang kondisi Pulau Jawa juga digambarkan dalam Serat tersebut penuh dihuni oleh demit, jin, gendruwo bekasaan dan sejenisnya. Bahkan beberapa utusan dari negeri Rum sebelum Syeh Subakir dimakan demit (Binadog demit). Dari serat ini, ditegaskan bahwa Raja Rum mendapat petunjuk untuk mengisi pulau Jawa : “jeng Sultan Rum kang winarni, angsal sasmitaning Sukma, dinawuhan angiseni, manungsa pilo Jawi,…”
Syeh subakir mengambil orang-orang Keling (?) untuk dibawa mengisi pulau Jawa, sebanyak 2 laksa (20000) keluarga. Dari serat ini, maka yang mengisi (menjadi penghuni P. Jawa) adalah dari bangsa Keling yang dibawa oleh Syeh Subakir. Padahal dalam naskah itu pula, Semar adalah manusia.
“Sang Hyang Semar lon wuwusnya, gih sumangga karsa Aji, sajatine gih kawula, lan kiraka tiyang Jawi, ing kina prapteng mangkin, kawak daplak inggih ulun, wong Jawa kuna mula, saderenga dika prapti, kula manggen Marbabu pucak haldaka”.
Namun, selama bertapa ribuan tahun itu pula pulau Jawa sudah berubah isinya, bukan manusia seperti Semar, tetapi sudah dikuasai oleh para demit.
Dalam SERAT JANGKA TANAH JAWI gambarannya tidak beda jauh dengan serat Jangak Syeh Subakir, yaitu pertemuan antara Semar dengan Syeh Subakir ketika memberi tumbal (mengusir) para dedemit yang menguasai tanah Jawa. Dalam serat ini ada dialog yang sebenarnya adalah bantahan anggapan bahwa tanah Jawa belum dihuni oleh manusia, hanya oleh bangsa jin dan demit.
“Syekh Bakir lon angandika, sayrkti ing tanah Jawi, pan durung ana manungsa, pan isih rupa wanadri, Hyang Semar matur aris, kawula sajatosipun, ing kina makina, saderenging tuwan prapti, hamba kalih dhedhukuh Rebabu arga”
Syeh Subakir berkata, sebenarnya di tanah Jawa, belum ada manusia, masih berupa hutan. Hyang Semar menjawab dengan lembut, hamba ini sebenarnya, di masa lalu, sebelum kedatangan tuan, hamba berdua (Semar dan Togog) ini penghuni Jawa yang bertempat di gunung Merbabu”.
Namun, dalam serat ini Semar sendiri menjelaskan bahwa dia bukan manusia, tetapi keturunan dewa, Sang Yang Tunggal atau Manikmaya. Agak sedikit berbeda memang dengan serat Jangka Syeh Subakir. Namun pada intinya bahwa Semar dan Togog di masa lalu adalah penghuni pulau Jawa. Apakah hanya mereka berdua? Tentu ini bisa disinkronkan dengan sumber-sumber lain misalnya Babad Demak Pesisiran yang menerangkan silsilah orang tua Syang Hyang Tunggal adalah Sang Yang Wenang, putra dari Sang Yang Wening, putra dari Sang Yang Nurasa, putra dari Sang Yang Nurcahyo atau Sayid Anwar, putra dari Nabi Sis. (dalam versi lain, Sang Yang Wening dan Wenang adalah satu pribadi). Dalam Serat Jangka Tanah Jawi, Semar adalah keturunan dari Nabi Sis (jika digabungkan Babad Demak Pesisiran, karena anak dari Sang Yang Tunggal). Namun, dalam Babad Demak Pesisiran, nama Semar tidak muncul sebagai anak Sang Yang Tunggal. Di sinilah letak gelapnya lagi, Semar di satu sisi mengaku anak Sang Yang Tunggal, namun dalam babad Demak Pesisiran, tidak masuk. Demikian pula dalam Babad Tanah Jawa, Semar dan Togog itu menjadi “penderek” Raden Palasara yang merupakan keturunan dari Sayid Anwar. Dalam babad Tanah Jawa, Palasara merupakan cikal bakal leluhur Jawa, dimana kemudian, Kurawa, Pandawa adalah bagian dari keturunannya (ini menjadi terbalik, bahwa kisah mahabarata itu mulanya dari Jawa).
Dalam serat Babad Demak Pesisiran, Nabi Ibrahim itu berbeda dengan Bathara Brhama. Nabi Ibrahim berada pada garis silsilah Sayid Anwas (saudara Sayid Anwar). Batara Brahma adalah keturunan dari Sayid Anwar.

Masa-masa gelap ini memang memunculkan banyak versi mengenai leluhur Jawa. Buku lain, yaitu SEJARAH KAWITANE WONG JAWA LAN WONG KANUNG menggambarkan : pertama jaman jamajuja (puluhan ribu- buku ini ditulis pada tahun 1931) sudah ada manusia, tetapi masih bertelanjang, seperti kera, hidupnya di gua-gua. Masih dalam masa jamajuja periode 5000 tahun (sebelumnya) manusianya sudah mengalami kemajuan, sudah memakai cawet dari dedaunan, sudah menempati di luar gua. Mereka sudah berkumpul dalam sebuah komunitas. Masyarakat ini disebut dengan masyarakat Lingga (Suku Lingga). Masa kuna (sebelum masehi), orang-orang Sampit berhijrah ke Nusa Kendheng yang kemudian disebut sebagai orang Jawa. Kata Jawa sendiri dirujukkan pada sebutan Bantheng yang “gemati” penuh perhatian terhadap anaknya. Sebab bantheng perempuan disebut Jawi, yang “gemati” kemudian disebut Jawa. Orang-orang Sampit yang mengungsi ke Jawa ini kemudian membuat pertanda awal sebagai orang Jawa, yaitu 230 tahun sebelum masehi (bukan saka). Tahun itu disebut tahun Hwuning (pengingat). Tokoh pimpinan rombongan eksodus ini namanya Khi Seng Dhang, yang kelak kemudian disebut Dhang Hyang (Danyang). Mereka berasal dari Sampit yang keturunan dari suku Hainan. Dari catatan ini, maka orang Jawa (dalam pengertian) pendatang baru yang “gemati”, mau menghormati orang Lingga adalah 230 SM. Namun penduduk Jawa asli, Suku Lingga kemudian bercampur dan kelak memenuhi Jawa.
Dengan demikian, catat buku ini menyebut mulainya peradaban Jawa itu 230SM, karena adanya kebudayaan Hainan yang dibawa, sementara suku Lingga yang masih tertinggal, hidup di gua, hutan dan bergantung pada alam, belum disebut sebagai orang Jawa. Ini tentu berbeda dengan versi Serat Jangka Syeh Subakir dan Serat Jangka Tanah Jawi. Jika kita lihat kedatangan Syeh Subakir di tanah Jawa dari sumber lain, sekitar tahun 1404. Jika berasumsi bahwa sebelum tahun itu tanah Jawa tak ada manusianya, maka akan muncul banyak persoalan, bagaimana dengan kerajaan Singasari, Kediri dan lainnya yang sebelumnya ada? Tentu membaca SERAT JANGKA SYEH SUBAKIR dan SERAT JANGKA TANAH JAWAI ini tidak bisa seleterlek ini. Mungkin butuh analisis simbol, semiotik, hermeneutik dan lain sebagainya agar mendapat pemahaman yang lebih luas. Sebab SERAT JANGKA itu pesan besarnya adalah mengenai “prediksi” masa depan Jawa dalam periodisasi tertentu, bukan membahas asal usul bangsa Jawa.
So, masih terbuka lebar untuk penilitan yang lebih jauh dan mendalam siapa sebenarnya leluhur orang Jawa di masa lampau sekali. Tentu tidak akan ditemukan jawaban tunggal, sebab sebuah masyarakat terdiri dari berbagai unsur, keluarga dan sebagainya, maka akan dimungkinkan banyak versi.
Kembali lagi, bahwa kata Jawa itu bisa diartikan “gemati”, perhatian, menghargai, menyayangi. Jadi siapapun mereka bisa melakukan itu semua di pulau Jawa ini, akan menjadi leluhur Jawa, entah dia dari belahan dunia manapun.
Salam Rahayu…..
*) Catatan : Keling, dalam wikipedia adalah daerah yang sekarang bernama India (benua Keling), seperti tercantum dalam sejarah melayu.Pada masa iniperkataan ini kebiasaannya merujuk kepada suku bangsa Dravida termasuk kaum TamilTelugu dan Malayalam. Di kawasan yang dulunya Kalinga, penduduknya pada hari ini bertutur dalam bahasa Bahasa Telugu dan Bahasa Oriya.

Sanggit Lakon Saramba Kusuma

Oleh Mawan Sugiyanto pada 11 April 2013 pukul 19:19
Sanggit Lakon Saramba Kusuma

Ki Nanang HP membawakan lakon Saramba Kusuma di Ulang Tahun PSMS ke 2 di Monumen Jaten, Karanganyar. Lakon ini memang tidak tanggung-tanggung dalam olah sanggitnya. Tokoh seterkenal Karna diubah asal-usulnya, tokoh yang semua orang kenal wayang pasti mengetahui bahwa Karna bukan anak Pandu. Dalam cerita mahabharata adalah putra Dewa Bethara Surya, Dewa penguasa Matahari dengan Dewi Kunthi. Saat itu Dewi Kunthi menggunakan ajian yang bisa memanggil Dewa, dan ketika itu yang datang adalah Bathara Surya. Dalam kasus ini pun juga ada perdebatan, apakah Dewa yang datang itu “tega” berbuat menghamili Kunthi, atau hamilnya Kunthi sebagai wujud anugrah? Apakah proses hamilnya Kunthi oleh Dewa itu layaknya cara laki-laki menghamili perempuan? Biarlah sanggit yang berjalan menyelesaikannya.

Kembali ke Lakon Saramba Kusuma, tentunya banyak yang bertanya, mengapa bisa demikian? Tentunya Ki Dalang punya argumen. Argumennya adalah bahwa para Dewa itu adalah pastinya mahluk yang berperilaku baik, dan setiap datang ke bumi menemui manusia pasti membawa kebaikan. Memang hampir tidak ada cerita di pewayangan yang menunjukkan wayang dari golongan manusia menjadi selevel Dewa karena kebaikannya, meskipun mampu mengalahkan Dewa.

Di sini lah kepiawaian seorang dalang, menunjukkan kondisi kebalikannya, dan juga melihat dari sisi yang berbeda dalam membawakan sebuah lakon. Bagaimana perasaan penonton dibawa untuk memahami lelakonnya Kunthi. Ketika semua orang di negeri Mandura sudah bisa dipastikan menolak keberadaan bayi dalam kandungan Kunthi. Ketika tidak ada tempat lain untuk mengadu, tentunya hanya keyakinan yang bisa mematahkan bahwa dalam setiap kesulitan ada kemudahan. Pandu bisa jadi khilaf, tetapi Ki Dalang juga punya argumen lain. Ini mungkin terjadi pada jaman dimana seseorang bisa menikah dengan kesepakatan berdua,  tentunya pemahaman ini juga tidak serta merta menjadikan perkawinan mudah, karena ini dilakukan dengan Tuhan dan penciptanya sebagai saksi. Mungkin kita juga perlu bertanya, siapakah yang jadi saksi Adam dan Hawa saat menikah? apakah ada surat nikahnya?

Tentunya Ki Dalang juga mengetahui bahwa ini akan menjadi pandangan yang bertolak belakang. Bahkan bertolak belakang dari kebenaran khalayak dan pengetahuan masyarakat. Saya kira ini pelajaran penting, bahwa kita tidak hanya disarankan untuk tidak “nggumunan” atau mudah percaya dengan pemberitaan khalayak. Banyak dalam kehidupan sehari-hari ditemui kebenaran yang dibenarkan oleh khalayak dengan besarnya jumlah suara, banyaknya spanduk, atau slogan-slogan bersih, peduli dan profesional, tetapi mungkin kan terjadi sebaliknya justru kesalahan besar dilakukan oleh orang-orang yang diyakini akan tindakannya yang selalu benar.

Ki Dalang menawarkan, bagaimana kalau faktanya berbeda? Arjuna dan Karna itu bukan hanya saudara tunggal Ibu, tetapi seayah dan seibu.

Sambil berjalan pulang saya miki, “ya bagaimana kalau partai yang jujur, religius, dan profesional ternyata juga ketangkap KPK? ”


Serat JOKO LODHANG



Pupuh Sinom
Karya: R.Ng. Ronggowarsito (1802 – 1874)


Sasedyane tanpa dadya
sacipta-cipta tan polih
kang reraton-raton rantas
mrih luhur asor pinanggih
bebendu gung nekani
kongas ing kanisthanipun
wong agung nis gungira
sudireng wirang jrih lalis
ingkang cilik tan toleh ring cilikira

segala keinginan tak pernah terwujud
segala angan dan cita-cita tiada pernah berhasil
yang berusaha membangun komunitas pun tergilas
bermaksud berbuat baik justru nestapa yang diterima
malapetaka besar menghampiri
yang tersiar hanya kenistaannya
orang besar kehilangan kebesarannya
memilih malu ketimbang mati
yang kecil pun tak mau bercermin diri

Wong alim, alim pulasan
jaba putih njero kuning
ngulama mangsah maksiat
madat madon minum main
kaji-kaji ambanting
dulban kethu putih mamprung
wadon nir wadonira
prabaweng salaka rukmi
kabeh-kabeh mung marono tingalira

banyak yang berkamuflase menjadi orang alim
luar tampak putih namun sejatinya di dalam kuning
ulama justru banyak berbuat maksiat
menjadi pecandu, berzina, mabuk-mabukan dan berjudi
banyak haji yang menghempaskan
surban dan peci putihnya melayang
yang perempuan kehilangan sifat keperempuanannya
kekuatan materi begitu besar pengaruhnya
semua orang hanya ke sana orientasinya

Para sudagar ingargya
jroning jaman keneng sarik
marmane saisining rat
sangsarane saya mencit
nir sad esthining urip *)
iku ta sangkalanipun
pantoging nandhang sudra
yen wus tobat tanpa mosik
sru nalangsa narima ngandel ing Suksma

mereka yang berjiwa pedagang benar-benar dipuja
itulah yang terjadi di era yang tengah menyandang kutukan
oleh karenanya seisi negara
dilanda penderitaan semakin hebat
bak musnah dan kering tujuan hidup
ketika itulah saatnya
penderitaan bakal berakhir
jika benar-benar bertaubat tak lagi mengikuti bisikan nafsu
dengan kepasrahan total mempercayakan segalanya kepada kekuasaan Illahi

*) Candrasengkala menunjukkan angka tahun Jawa 1860 = 1928 Masehi.

Mangga sanak sedherek, silahkan menikmati keindahan karya pujangga kita Ki Ronggowarsito di atas. Mohon jangan lupa berdoa semoga "pantoging nandhang sudra" segera menghampiri Indonesia..