KI NARTO SABDHO MENANGIS
KI NARTO SABDHO MENANGIS
Ki Narto Sabdho almarhum semula
adalah seorang ‘pengrawit’ (pemain musik instrumen gamelan), khususnya sebagai
pemain kendhang. Lama kemudian, beliau baru ‘madeg dadi dhalang’, dan boleh
dikatakan sejak itu beliau lebih dikenal sebagai dhalang dibanding dengan
sebagai pemain kendhang. Tetapi jika dicermati, karya-karya beliau sebenarnya
bahkan lebih banyak sebagai pengrawit, dibandingkan dengan sebagai dhalang.
Misalnya, beliau sangat banyak membuat lagu dolanan, garap gendhing, dan
membuat gendhing versi baru.
Mencermati
apa yang pernah dilakukan Ki Narto Sabdho almarhum selama hidupnya, akan
merupakan bahan renungan dan diskusi panjang-lebar yang tak habis-habisnya.
Tokoh dhalang yang satu ini, faktanya memang memegang peran yang sangat dominan
sebagai pemicu perubahan gaya permainan pagelararan wayang kulit versi Jawa,
yang dampaknya mulai sangat terasa pengaruhnya menjelang awal tahun 1970-an.
Pada masa itu, banyak pihak yang tidak saja menentang Ki Narto Sabdho, bahkan
memusuhi dan berusaha menyingkirkan; karena dia dipandang ‘nerak lan ngrusak
pakem’. Dalam beberapa pagelaran yang dilakukan di wilayah Surakarta dan
Yogyakarta, bahkan beliau berulang kali mengalami pelecehan harkat, dihujat
habis-habisan, atau dilempari saat melakukan pagelaran.
Tapi
yang terjadi kemudian, adalah sebaliknya. Para gegeduk ‘pakar-pakar pakeliran
wayang dan karawitan’ yang mengucilkan dan memusuhinya, ternyata malah
berhadapan dengan kenyataan bahwa masyarakat luas sangat mendukung dan menyukai
gaya pagelaran Ki Narto Sabdho. Bahkan, pada sekitar tahun 1971, sebagai hasil
dari suatu pelaksanaan survei (dilakukan terhadap masyarakat) tentang dhalang
mana yang paling disukai, beliau dinyatakan sebagai dhalang paling populer di
Indonesia. Situasi inilah yang dengan segera membalikkan sejarah! Sejak itu,
gaya permainan Ki Narto Sabdho melanda dan mempengaruhi gaya permainan hampir
seluruh pagelaran wayang kulit yang dimainkan oleh banyak dhalang lainnya tanpa
bisa dibendung lagi. Kesukaan akan permainan Ki Karto Sabdho, bahkan masih
menjalar sampai sekarang, meski pun beliau sudah lama meninggal. Dengar saja
secara langsung atau lewat internet (pakai ‘streaming’), bagaimana kaset-kaset
pagelaran wayang dengan dhalang Ki Narto Sabdho sampai sekarang masih sering
amat terdengar mengudara dan sangat dinikmati oleh banyak pendengar siaran
radio.
Pada
masa sekarang, para pendengar siaran radio itu berasal dari dalam dan luar
negeri. Hampir setiap malam, dari berbagai stasiun pemancar radio (secara
langsung atau lewat internet) kita bisa mendengar kembali bagaimana kata,
kalimat, tembang, sulukan, antawacana, janturan, serta drama kehidupan yang
menyentuh emosi dan perasaan; yang dibawakan oleh Ki Narto Sabdho kepada para
pendengarnya (bukan lagi kepada penontonnya). Bahkan tanpa gambar video apa
pun, karena di masa itu pita kaset video sangat mahal harganya, rekaman
pagelaran wayang Ki Narto Sabdho pada masa itu lebih banyak dikenal lewat pita
kaset (merupakan rekaman suara tanpa gambar); mendengarkan rekaman suara
pagelarannya saja sudah bisa membuat pendengarnya tercekam dan terhanyut emosi
serta perasaannya……
Panggilan
akrab penuh kasih sayang bagi Ki Narto Sabdho di kalangan para seniman
karawitan jauh sebelum masa sekitar tahun 1970-an adalah ‘Mbah Narto’. Namun,
di masa itu, ada panggilan (nick name) lain bagi Ki Narto Sabdho almarhum, yang
entah dari mana asalnya, yang pasti saya meyakini bukan berasal dari kalangan
seniman karawitan, yaitu panggilan ‘Narto Jaran’ (jaran = kuda). Mungkin
panggilan itu mungkin bermula dari kegesitan Pak Narto saat memainkan wayang;
atau, gesit dan liar saat mempermainkan emosi dan perasaan penontonnya. Suatu
sebutan yang agak aneh, tetapi ya itulah kenyatanya…..
Sampai
sekarang menurut saya belum ada yang bisa menggantikan atau menandingi Mbah
Narto dalam bidang sanggit, drama, serta permainan emosi penonton. Mbah Narto
masih yang terbaik. Dulu, pada sekitar tahun 1976 (saya agak lupa tahunnya),
saya pernah nonton Mbah Narto grup Condong Raos-nya memainkan lakon ‘Samba
Juwing’ (juga sering disebut lakon ‘Boma Gugur’ atau ‘Gojali Suta’) di Taman
Mini, yang nonton pagelarannya banyak sekali, ada barangkali sekitar 20.000
orang. Saat itu, di sejumlah adegannya, banyak sekali penonton yang terharu,
tercekam, dan menangis tersedu-sedu, seakan-akan apa yang diceritakan Mbah
Narto itu adalah dirinya. Hal itulah yang banyak dinyatakan oleh penonton.
“Kula kok karasa yen riwayate Boma niku kados riwayat urip kula,” begitu
pernyataan beberapa penonton yang saya tanya sesaat setelah pagelaran berakhir
di pagi hari, masih dengan bekas-bekas sembab dan bekas linangan air-mata di
sisi-sisi matanya. Dalam suatu pertemuan dengan Mbah Narto di rumahnya (pada
sekitar tahun 1976), di Jl. Anggrek, Semarang; beliau bercerita bahwa lakon
‘Samba Juwing’ merupakan salah satu lakon yang paling disukainya. Karenanya,
beliau seringkali membawakan cerita itu. Jauh lebih sering dari pada
lakon-lakon lainnya.
Mengatur,
mengendalikan, lalu mempermainkan emosi dan perasaan penonton! Hal inilah
yang sampai sekarang belum pernah saya lihat berhasil dilakukan oleh banyak
dhalang masa kini (yang mana pun). Dhalang masa kini, kebanyakan hanya
hura-hura, ramai, lucu (itu juga karena membawa pelawak, dhalangnya sendiri
mungkin tidak terlalu lucu), banyak perangnya, banyak goyang campur-sarian-nya,
banyak sindhen-nya, garap gendhingnya berpola cepat sepanjang malam (yang amat
membosankan dan sangat melelahkan telinga), penuh dengan teriakan bersuara
keras (saat perang), dan banyak ketidak-jelasan alur ceritanya. Kalau pun
skenarionya bagus, kebanyakan tidak bisa membawa hanyut emosi dan perasaan
penontonnya. Sedangkan pagelarannya sendiri seringkali tidak membuat
penontonnya terbawa emosinya dan tidak membawa penontonnya memikir atau belajar
sesuatu yang bersifat spiritual, sesuatu yang bersifat filosofis, atau sesuatu
yang bersifat ajaran bagaimana hidup baik. Artinya, pagelaran wayang kulit
purwa pada jaman sekarang, ditinjau dari segi itu, menjadi suatu pagelaran yang
kering serta miskin ajaran dan tuntunan rohani.
Menurut
saya, semacam ada doktrin atau anjuran, jika mau main wayang semalam suntuk,
sebaiknya menerapkan hura-hura sepanjang malam, pokoknya ramai, tidak perlu
lucu (kalau mau lucu ya bawa pelawak saja), sebanyak mungkin perangnya biar
ramai, perbanyak goyang campur-sarian-nya biar penonton puas, banyak
sindhen-nya dan hadapkan wajah mereka ke arah penonton biar wajah mereka bisa
menarik perhatian penonton, buat garap gendhingnya berpola cepat sepanjang malam
(meski pun kenyataannya amat membosankan dan sangat melelahkan telinga, karena
grafik garapnya selalu tinggi sepanjang malam), penuhi pagelaran dengan
teriakan bersuara keras (saat perang), dan biarkan saja mengorbankan banyak
ketidak-jelasan alur ceritanya. Pola seperti inilah yang pada masa sekarang
berkembang. Kenyataannya, pagelaran jaman sekarang lebih mengeksploitasi
‘naluri rendah manusia’, termasuk sangat mengeksploitasi hawa nafsu (maaf,
‘nafsu kebinatangan’), termasuk humor dan guyonan berbau sex, yang pada masa
sekarang sangat banyak dieksploitasi untuk sekedar mengejar kesenangan ragawi
penontonnya.
Pada
sejumlah pagelaran wayang kulit purwa semalam suntuk, kenyataannya penontonlah
yang mengendalikan pagelaran, dan bukannya pagelaran yang mengendalikan
penonton. Di Kota Bandung suatu ketika terjadi pagelaran wayang dengan dhalang
yang sebenarnya bagus permainannya. Tetapi apa yang terjadi? Pas adegan
Limbukan, penonton terang-terangan meminta dhalang supaya pagelaran dihentikan
saja dan digantikan dengan adegan campur-sarian. Permintaan ini, dinyatakan
dalam bentuk teriakan-teriakan, yang semakin lama semakin sering, semakin
keras, dan semakin gegap gempita. Peri-laku biadab seperti ini, akhirnya
membuat pak dhalang menyerah. Apa yang terjadi? Pagelaran pun dihentikan, lalu
diganti dengan campur-sari, yang didukung sejumlah penari yang
berlenggak-lenggok dengan seronok dengan gerak tubuh sensual, sehingga semua
mata lelaki penonton dengan sangat bernafsu tertuju ke bentuk tubuh sexy yang
dibalut pakaian super ketat sekelompok penari campur-sari itu. Sudah barang
tentu, tidak pula terlupa disajikan lagu ‘Iwak Peyek’ yang memang sedang naik
daun. Rasanya, para nayaga maupun penonton, sudah tidak ada lagi yang
mempersoalkan apakah lagu-lagu yang mereka mainkan itu sesuai dengan nada-nada
gamelan atau tidak. Cocok atau tidak, rupanya sudah tidak termasuk ke dalam
bahan pertimbangan lagi. Bagi mereka kesenangan penonton menjadi target.
Perasaan gamang atau mempertimbangkan estetika nada, rupanya sudah lenyap dari
otak seluruh nayaga dan penonton. Mereka tidak lagi perduli, apakah nada
lagunya sesuai dengan nada-nada gamelan atau tidak.
Waktu
sudah menunjukkan jam 02.00 pagi, tetapi adegan Limbukan yang sudah ‘dikudeta’
dengan adegan campur-sarian belum juga selesai. Pak dhalang sempat nyeletuk:
“La kalau campur-sarian terus, lalu kapan perangnya?” Tapi penonton
rupanya tidak perduli! Lagu demi lagu diminta penonton untuk terus dimainkan,
lengkap dengan lemparan ‘saweran’ berupa lemparan-lemparan lembaran uang. Jam
setengah tiga pagi, dengan terpaksa pak dhalang memaksa campur-sarian
dihentikan. Pagelaran wayang pun diteruskan, dengan alur cerita yang sudah
terlanjur rusak, karena sebenarnya waktu sudah menunjukkan saatnya memainkan
‘pathet manyura’, padahal saat itu pathet masih belum berubah. Jam setengah
tiga pagi masih main ‘pathet nem’! Brengsek dan keterlaluan!
Begitu
campur-sari berhenti pada jam setengah tiga pagi, penonton lalu bergegas
berbondong-bondong meninggalkan ruang pagelaran. Lebih dari tiga per empat
jumlah penonton, seketika bubar dan pulang, sementara pagelaran wayang
tiba-tiba saja memperpendek waktunya sehingga dalam ukuran hanya beberapa puluh
menit, dua pathet dilalui tanpa makna. Dan tidak lebih dari setengah jam
kemudian, seluruh pagelaran wayang kulit purwa sudah benar-benar selesai.
Pagelaran wayang sudah tidak bisa dinikmati lagi. Alur ceritanya sudah
benar-benar rusak berat. Pak dhalang-nya pun hanya ‘ngelus dhadha’ saja. Begitu
pula saya…..
Apakah
pagelaran wayang kulit purwa seperti ini yang dikehendaki? Saya suka sekali
nonton wayang kulit purwa. Saya juga amat sangat suka nonton jaipongan,
dangdut, kliningan Sunda, atau kendhang pencak. Begitu juga sangat suka nonton
campur-sari, sendra-tari, konser musik, jazz, atau blues. Tapi kalau nonton
pertunjukan wayang kulit purwa yang dikudeta dan dicampur-adukkan dengan
campur-sarian setengah malam suntuk, rasanya seperti mencampurkan roti yang
terkenal sangat enak, mahal, dan nomor satu; dengan baso yang gurihnya luar
biasa dan juga nomor satu; dicampur dengan tembakau rokok kretek merk terkenal
yang kualitas ekspor, ditambahi potongan sepatu buatan Italia yang termasuk
terbaik dan kelas dunia, yang juga nomor satu; serta celana dalam wanita model
mutakhir yang sangat sexy, sensual, dan nomor satu cantiknya. Seluruh benda
yang semuanya dikategorikan ‘nomor satu’ ini dicampur jadi satu, dimasak, lalu
dihidangkan kepada kita. Jangan lupa, semuanya berkualitas tinggi, sedang naik
daun, kelas dunia, kelas atas, dan nomor satu. Bagaimana rasanya? Sumpah demi
setan dan iblis! Jangankan memakannya, melihatnya saja sudah membuat muak dan
muntah……..!
Lalu
pak dhalang yang sebenarnya malam itu jadi komandan atau panglima tertinggi
pagelaran…. Apa kehormatan, martabat, dan harga diri seorang dhalang bisa
dengan mudah dibeli dan dikorbankan begitu saja demi segepok rupiah bayaran?
Bukankah dhalang adalah gurunya masyarakat? Jika seorang dhalang tidak sanggup
mengendalikan penonton (caranya sih terserah), atau tidak sanggup menjadi
gurunya masyarakat, ya lebih baik jangan berani-berani ‘madeg dadi dhalang’.
Untuk apa jadi dhalang seperti itu, kalau perannya hanya menjadi pelengkap
penderita, serta menjadi fasilitator penggerak nafsu dan naluri rendah
manusia….?
Cobalah
renungkan dengan bening. Pagelaran wayang dan pagelaran campur-sari sebenarnya
sama bagusnya. Tetapi berubah menjadi pagelaran setan dan iblis, jika dicampur
menjadi satu. Kalau memang penonton hanya mau campur-sarian, ya lebih baik
melakukan pagelaran campur-sari semalam suntuk. Kalau perlu dengan sederetan
penari telanjang sekalian. Tapi jangan memakai pagelaran wayang kulit purwa
sebagai media dan melakukan manipulasi atau kebohongan publik, seakan-akan
pagelaran malam itu adalah pagelaran wayang kulit purwa yang adi luhung, padahal
nyatanya hanya merupakan pagelaran campur-sari yang mengekslopitasi nafsu dan
naluri rendah manusia. Sementara pagelaran wayang kulitnya hanya sebagai
pembuka dan penutup semata. Menyedihkan sekali dan menunjukkan kenyataan bahwa
masyarakat kita memang bukan masyarakat yang berbudaya tinggi, tetapi
sebaliknya merupakan masyarakat berbudaya rendah, yang dibalut dengan
kebohongan, basa-basi, seakan-akan merupakan masyarakat berbudaya tinggi dan
adi luhung. Ini merupakan ciri-ciri masyarakat munafik yang umumnya hanya
dikenal sebagai penghuni negara-negara ‘terbelakang’, negara-negara tak
berbudaya, bahkan sebagai masyarakat negara ‘under development’ pun tidak!
Menyedihkan sekali…….
Jika
saja Mbah Narto masih berada di antara kita, atau jika di alam sana beliau bisa
mengamati apa yang terjadi saat ini, saya yakin sekarang beliau sedang
menangis, melihat gaya pagelaran wayang kulit purwa versi Jawa masa kini dan
melihat ulah penonton pagelaran wayang kulit yang sama sekali tidak terkendali,
dan malah berbalik mengkudeta serta mengendalikan dhalang pagelaran wayang
kulit purwa, lalu mengubah pagelaran wayang kulit purwa yang edi peni dan adi
luhung; menjadi sebuah pertunjukan penuh hura-hura, bergelimang nafsu, dan sama
sekali tidak bermakna…..
Keluarga Ki Narto Sabdho beserta
seluruh anggauta timnya, tinggal di Jl. Anggrek, dekat Simpang Lima, Kota Semarang.
Pada masa jayanya, tim kesenian bentukan Ki Narto Sabdho terdiri dari dua tim
kerja yang berbeda, yaitu tim yang mendukung pagelaran wayang kulit, bernama
‘Condong Raos’, dan tim yang mendukung pagelaran wayang orang ‘Ngesti
Pandhawa’.
Ki Narto Sabdho almarhum, sampai
akhir hayatnya, selalu membuat penontonnya terbawa emosi dan perasaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar