Dalang-dalang terkenal saat ini seperti Ki Manteb, Ki Anom Suroto, Ki Purbo Asmoro, Ki Entus Susumono, tidak serta merta sukses seperti sekarang ini, perlu proses panjang bahkan untuk menjadi seorang dalang yang tidak terkenal sekalipun. Terlalu banyak ketrampilan dan pengetahuan baik teknis maupun mapun terori yang harus dikuasai. Artinya tidaklah mudah menjadi seorang dalang, tidak dapat di ukur dengan hanya setahun dua tahun belajar / kursus lalu setelah dinyatakan lulus sudah bisa di juluki gelar Ki Dalang. Gelar Ki sebenarnya dalam kalangan masyarakat jawa sangatlah berat, berarti telah memiliki kemampuan yang spesifik tertentu dan di tuakan dalam masyarakat lingkungannya.
Malah menurut alm guru saya Ki Gondo Darsono (Darman), pernah mengatakan bahwa sekarang ini tidak ada Dalang tetapi yang ada adalah “wong buruh mayang”. (orang yang mendalang hanya untuk menegakkan periuk nasi). Banyaknya dalang yang mutu sajiannya dibawah standar dan kurang berisi menurut Ki Darman tidak patut disebut dalang tetapi lebih pas dijuluki seorang pekerja kasar yang memepergunakan wayang sebagai media dalam memenuhi kebutuhan hidup. Dalam pandangan Ki Gondo Darman tersebut jelas tersirat pesan betapa beratnya bekal kemampuan yang harus dipenuhi oleh seorang dalang, dalang diharapkan dapat menghibur, memenuhi selera penonton, penanggap, tetapi juga harus menyajikan nilai-nilai rohani yang wigati. Dalang tidak asal memperoleh upah untuk untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya tetapi juga harus mampu memberikan kepuasan batin kepada penanggap, penonton dengan pesan-pesan moral yang memberikan pencerahan “ngudal piwulang” tetapi tidak berarti menggurui.
Dalam menapaki jalan menuju dunia pedalangan, seorang calon dalang bisa dikelompokan menjadi dua yakni turun dalang dan bukan turun dalang. Bagi anak dalang/turun dalang belajar wayang sejak ia bisa melihat, mendengarkan, berjalan, hingga saat remaja. Mulai kecil telinga anak dalang sudah akrap dengan nada-nada dalam gamelan jawa. Matanya sudah sering memandangi boneka wayang yang di simping kiri/kanan sewaktu ayahnya mendalang. Satu persatu akan dihafal hingga diluar kepala wayang-wayang yang ada di simpingan maupun di dalam kotak. Sulukan gending dan sastra pedalangan akan dihafalnya secara otomatis ketika ia mengikuti ayahnya selagi mendalang. Jika anak dalang mulai mengikuti ayahnya ketika pentas, dari umur 3 tahun dan kemudian anak tersebut sudah laris mendalang pada umur 20 tahun, berarti proses belajar mendalang secara otomatis itu selama 28 tahun. Jadi mustahil hanya belajar mendalang 2 tahun atau beberapa bulan lewat kursus pedalangan sudah bisa disebut sebagai seorang dalang.
Memang dalam kenyataannya ada beberapa orang bukan turun dalang tetapi secara materi berkecukupan (pejabat, pengusaha, bintang film) yang ingin belajar mendalang dengan kursus di sanggar atau pasinaon dalang. Meski kebetulan orang tersebut mempunyai tingkat itelegensi / daya serap yang cepat dan tinggi, tetapi menurut hemat saya bekal itu masih sangat kurang untuk dapat diberi gelar dengan sebutan Ki Dalang. Memang kesan sekilas tidak akan terlalu nampak jelas perbedaan antara anak dalang dengan yang bukan anak dalang. Tetapi bagi dalang sepuh atau penonton wayang yang sudah sangat ”atul” dengan pergelaran akan tahu perbedaannya. Bagaimanapun proses panjang yang dilalui seorang anak dalang tidak akan tergantikan oleh produk instan dalang lulusan sekolahan/sanggar/pasinaon dalang. Sehingga bila ada anak seorang dalang yang berusaha memperoleh pelajaran gabungan dari semuannya akan tampil dengan nilai lebih. Bagi yang bisa merasakan ketika dalang naik panggung pun sudah akan terasa, aura dari dalang yang akan pentas, misalnya Ki Anom Suroto sedang pentas, kewibawaan seorang Anom Suroto nampak menyelimuti seluruh kru pengrawitnya juga menebar keseluruh penjuru tempat pergelaran, keliatan regu, wibawa, ngengreng, sidhem, ayem dan sebagainya. Itu semua dapat terbentuk karena memang dalangnya sudah sangat menguasai panggung dan penonton.
Tulisan ini tidak bermaksud mengecilkan bagi calon dalang yang bukan turun seniman dalang. Hanya ingin mengajak lebih jauh untuk merenung dan jangan pernah nyacat dalang lain, lebih baik banyak belajar dari ajaran seorang Ki Gondo Darman yang menghendaki agar orang yang kepingin jadi dalang tidak belajar setengah-setengah tetapi sedapat mungkin selalu merasa tidak puas dengan kemampuan yang telah dimilikinya.
Keprakan dan Sabet Emajiner
Pembelajaran sabet oleh Ki Mulyanto sangat berbeda dengan apa yang saya peroleh di bangku kuliah. Sabet ala Ki Mulyanto tidak terpola seperti dalang-dalang sabet lainnya. Ki Mulyanto lebih mengandalkan gerak reflek dan ide spontan kreasi yang muncul, meski tidak dapat dipungkiri vokabuler sabet yang sudah ia kuasai juga sering mendominasi. Sabetnya susah ditebak, hal ini dapat di buktikan bila kita ’mbeduki’ (memukul dram untuk memantapkan sabet) Ki Mulyanto, pasti akan banyak melesetnya.
Ki Mulyanto pernah meminta saya untuk memperagakan cara memegang wayang dan melakukan ’prapatan, jeblosan dan tebakan’ (istilah dalam sabet), ternyata menurut versi dia cara memainkan wayang saya salah. ’Nyabetke wayang kuwi aja di nggeng, kaya wong bacuke arit’ kudu diloske, aja wedi wayange rusak (memegang wayang itu jangan ditahan , seperti orang menebaskan parang ke pohon, harus los bebas hambatan, jangan wayang takut wayangnya rusak).
Dalam berolah sabet ternyata Ki Mulyanto memberi pengajaran yang berbeda, saya tidak pernah dilatih untuk memegang wayang yang sudah jadi, tetapi hanya diperkenankan untuk memegang tangkai dan tuding, tanpa ada boneka wayangnya. Menurut Ki Mulyanto penguasaan sabet harus dimulai dari penguasaan ”gapit dan tuding” dahulu dengan cara digerak-gerakan berputar-putar dengan memakai ibu jari dan telunjuk. Bila sudah kenal betul jari jemari kita dengan tangkai wayang baru kita diajar untuk memegang wayang secara utuh. Dengan teknik ”mucuk, sedeng, ngepok, jagal” . Tapi saya melihat hampir semua wayang dalam pergelaran Ki Mulyanto dipegang dengan cara jagal. Hal ini saya amati ternyata cara memegang wayang jagal lebih memberikan sentuhan secara langsung dan sebagai komunikasi sambung rasa antara dalang dengan wayang. Karena dalam menghidupkan wayang di kelir diperlukan kepekaan rasa yang tinggi dari seorang dalang. Bagi Ki Mulyanto bukan sekedar dalang menggerakan wayang tetapi dalang harus tahu karakter dan kemauan wayang saat dipegang oleh dalang. Si dalang kadang harus larut menjiwai karakter wayang, sehingga bisa menafsirkan kebutuhan gerak yang diperkulan dalam peperangan atau adegan tertentu, hingga seolah-olah dalang hanya mengikuti kemauan dari boneka wayang.
Berbicara masalah sabet tentunya erat kaitannya dengan ”keprakan”. Di dunia pedalangan teknis penguasaan keprakan sangat menentukan kepiawaian seorang dalang dalam olah sabet. Sabet dan keprakan adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, saling mendukung dalam memantapkan sajian sabet. Bagi seorang Mulyanto, belajar keprakan jauh lebih penting didahulukan dari pada belajar memegang wayang. ’Salahe wong saiki bocah ora diajari keprakan disik nanging ujug-ujug diajari sabetan trampil, mulane sabetane apik ning keprakane ngondeli’. (Kurang tepat bila anak-anak tidak diajari keprakan terlebih dahulu tetapi langsung diajari sabetan terampil, hasilnya sabetannya bagus tetapi keprakannya tidak pas).
Dalam hal keprakan Ki Mulyanto pernah mengajarkan kepada saya secara lesan bahwa, saya diminta untuk latihan keprakan setiap hari selama 2 tahun berturut –turut tanpa memakai boneka wayang. Saya hanya diperintahkan untuk membayangkan wayang yang sedang berada dikelir, misalnya setyaki memukul, keprakanya anteb tetapi tidak terlalu keras, berbeda lagi bila seolah-olah yang di kelir Bima yang sedang menendhang dengan kakinya yang berotot, tentunta dengan sekuat tenaga dalam menendhang keprak, jika perlu tidak hanya dengan ujung jari kaki, tetapi dengan tumit. Latihan sabet secara emajiner ini diperlukan untuk melatih gerak reflek kita. Menurut Ki Mulyanto, manusia mulai berjalan itu yang mengayun dulu kakinya, baru kemudian secara otomatis tangan akan mengikutinya (lembehan). Filosofi ini yang diambil Mulyanto, bahwa belajar keprak lebih penting dari belajar sabet, menurutnya jika seorang dalang telah menguasai keprakan, gerakan wayang dikelir secara otomatis betapapun cepat dan sulitnya gerak kaki pasti akan mengikutinya secara reflek.
Ternyata teori yang tidak saya dapat di bangku kuliah ini bila dilatih secara benar akan nampak hasilnya dan analisa Ki Mulyanto memang benar adanya. Latihan Keprakan (reflek kaki) lebih penting untuk didahulukan ketimbang belajar ketrampilan sabet yang aneh-aneh, tetapi kaki tidak dapat mengikuti kecepatan dan ketrampilan tangan. (semoga bermanfaat bagi siapa saja yang sedang belajar dalang).
PESINDEN WAYANG KULIT
(Tulisan Ki Bambang Asmoro di Wikipedia)
Pesinden adalah sebutan bagi wanita yang bernyanyi mengiringi orkestra gamelan, umumnya sebagai penyanyi satu-satunya. Pesinden yang baik harus mempunyai kemampuan komunikasi yang luas dan keahlian vokal yang baik serta kemampuan untuk menyanyikan tembang.
BLENCONG
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
(Sumbangan Tulisan Ki Bambang Asmoro di Wikipedia)
Blencong dalam istilah pedalangan lebih menunjuk kepada suatu alat penerangan untuk pertunjukan wayang di masa lampau yang menggunakan bahan bakar minyak kelapa. Lampu blencong ini berbentuk macam-macam ada yang berbentuk seperti burung Jatayu, ada yang berbentuk seperti celengan dengan sayap kiri dan kanan. Blencong ini terbuat dari kayu berukir ataupun perunggu, dengan lubang di tengah untuk menaruh minyak dan mempunyai sumbu yang menghadap ke arah kelir/ layar.
Blencong merupakan alat penerangan yang berfungsi untuk menghidupkan bayangan wayang di kelir/layar. Wayang yang mempunyai cat dasar prada emas akan terlihat lebih hidup. Begitu pula bayangan yang dihasilkan jika dilihat dari belakang layar akan terlihat lebih artistik. Terpaan angin terhadap sumbu blencong akan membawa efek tersendiri pada wayang yang sedang ditampilkan oleh seorang dalang.
Dalang perlu mengecek dan membenahi untuk menarik sumbu blencong agar tidak padam dan sinarnya sesuai dengan kebutuhan pergelaran. Satu alat lain yang namanya sumpit diperlukan untuk menjepit sumbu blencong yang biasanya terbuat dari kain atau kapas yang telah dibentuk seperti tali. Kehati-hatian seorang Dalang juga mutlak diperlukan dalam menggunakan sumpit ini, karena percikan api blencong mudah membakar kain yang dikenakan oleh Dalang.
Namun blencong saat ini sudah jarang dipergunakan karena dianggap tidak praktis dan sinarnya kurang terang. Pada perkembangannya blencong digantikan dengan lampu petromak. Di zaman yang serba listrik ini blencong diganti dengan lampu bohlam (lampu pijar), bahkan saat sekarang karena pergelaran wayang sering diselenggarakan di lapangan luas dan akbar maka lampu blencong digantikan dengan lampu halogen (sejenis lampu mobil) 1000 watt.
Pergelaran wayang yang menggunakan lampu blencong pada saat sekarang hanya terdapat di keraton saja dan hanya untuk acara ritual khusus seperti ruwatan dan pentas pesanan para turis manca negara yang menghendaki pergelaran wayang seperti aslinya tempo dulu.
Diperoleh dari “http://id.wikipedia.org/wiki/Blencong” Kategori: Wayang kulit
KELIR WAYANG KULIT PURWA
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
(Sumbangan Tulisan Ki Bambang Asmoro di Wikipedia)
Kelir di dalam istilah pedalangan lebih menunjuk kepada layar tempat memainkan boneka wayang. Kelir biasanya terbuat dari kain berwarna putih benbentuk empat persegi panjang dengan panjang 3 hingga 12 meter dan lebar 2 hingga 3 meter. Kelir ini terbuat dari bahan kain sejenis catoon bukan nilon atau orang jawa sering menyebutnya mekao. Bahan ini dipilih karena tidak terlalu licin sehingga jika wayang ditempelkan ke kelir tidak akan mudah goyang ke kanan dan ke kiri, dalang bisa mengendalikan gerak wayang dengan mudah.
Di semua sisi pinggirnya kelir di balut dengan kain warna hitam, dengan lekukan tertentu. Sisi atas disebut sebagai pelangitan sedangkan sisi bawah disebut palemahan. Disebut pelangitan karena letaknya diatas dan difungsikan sebagai langitnya wayang. Bila suatu tokoh boneka wayang dalam posisi terbang, maka akan sampai menyentuh kelir bagian atas ini. Sedangkan palemahan berasal dari kata “lemah” yang berarti tanah sehingga dalam pakeliran lebih difungsikan sebagai tempat berpijaknya wayang. Jika tancepan wayang diatas garis palemahan, wayang tersebut akan terlihat mengambang.
Sisi kanan kiri kelir dijahit berlubang untuk tempat meletakkan sligi, yakni semacam tiang kecil yang terbuat dari bambu atau kayu untuk membentangkan kelir di bagaian kanan dan kiri yang ditancapkan pada batang pisang di bagian bawahnya sedangkan bagian atas dihubungkan dengan gawangan kelir. Disi atas dan bawah kelir juga di jahitkan besi benbentuk bulatan atau segitiga kecil yang berfungsi untuk mengencangkan kelir dengan tali di bagian atas yang bernama pluntur dan dengan placak atau placek di bagian bawah.
Pada perkembangannya bentuk kelir ini tidak hanya benbentuk empat persegi panjang, tetapi untuk kebutuhan tertentu kelir ada yang dibuat dengan bentuk setengah lingkaran sebagaimana separoh bola dunia dengan bergambarkan pulau-pulau di sisi bagian atas. Kelir ini sangat berkaitan erat dengan gawangan kelir, gedebog, tapakdoro, kotak wayang, keprak
Diperoleh dari “http://id.wikipedia.org/wiki/Kelir”
KEPRAK WAYANG KULIT PURWA
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
(sumbangan Tulisan Ki Bambang Asmoro di Wikipedia)
Keprak adalah suatu alat yang terbuat dari perunggu atau besi dengan ukuran kira-kira 20 x 27 cm, terdiri bebrapa lempengan, diberi lobang pada bagian atasnya dan diberi seutas tali, digantung pada kotak wayang dengan tatanan sedemikian rupa sehingga bila di pukul akan menimbulkan efek bunyi “prak-prak”.
Dalam pergelaran wayang kulit purwa gaya Surakarta, wayang golek Sunda, Wayang Betawi, keprak terdiri minimal 3 buah, ada yang 4 buah dan 5 buah. Sedangkan untuk pakeliran Gaya Yogyakarta keprak hanya terdiri dari satu lempengan besi saja yang di landasi dengan kayu seukuran keprak, dipukul dengan cempala besi yang di jepit oleh kaki seorang dalang efek bunyi yang ditimbulkan “ting-ting”.
Agar menghasilkan suara keprak yang bagus seorang dalang harus tahu teknik memasang keprak dan teknik membunyikan keprak dengan baik. Keprak dalam pakeliran biasanya untuk mengiringi gerakan wayang serta untuk memantabkan solah (gerak) wayang. Dalang wayang kulit gagrak Surakarta saat ini lebih memilih keprak berbahan besi putih beberapa lembar di kombinasi dengan keprak perunggu beberapa lembar, yang di yakini mempunyai efek suara lebih nyaring.
Diperoleh dari “http://id.wikipedia.org/wiki/Keprak”
GAPIT WAYANG KULIT
(Sumbangan Tulisan Ki Bambang Asmoro di Wikipedia)
Gapit dalam wayang kulit menunjuk pada bagian penyangga wayang terutama yang menempel dari kaki wayang, dan dieluk sesuai dengan badan wayang, melewati pinggang, dada, kepala hingga pada ujung rambut atau mahkota. Gapit biasanya dibuat dari tanduk kerbau.
Gapit, menurut Ki Sumadi, seorang pengrajin gapit wayang dari Kuwel, Klaten yang juga seorang dalang, dibagi dalam beberapa bagian. Bagian paling bawah berbentuk lancip yang biasanya ditancapkan pada batang semu (gedebog) pisang, dan dinamakan antub. Di bagian atas dari antub terdapat lengkeh, genuk, dan picisan yang ada di bawah kaki wayang, sedangkan bagian selanjutnya disebut cempurit. Konon ketiga bagian ini diambil dari nama pangkat para penunggu pintu keraton, yakni lurah lengkeh, lurah genuk dan lurah picis. Sesudah melewati ketiga lurah ini baru kita akan menemukan pintu utama yang dinamakan cepuri, oleh karena itu bagian gapit yang paling atas disebut cempurit.
Pesinden juga sering disebut Sinden, menurut Ki-Mujoko Joko Raharjo (Alm) berasal dari kata “pasindhian” yang berarti yang kaya akan lagu atau yang melagukan (melantunkan lagu). Sinden juga disebut waranggana “wara” berarti seseorang berjenis kelamin wanita, dan “anggana” berarti sendiri. Pada jaman dahulu waranggana adalah satu-satunya wanita dalam pangung pergelaran wayang ataupun pentas klenengan. Sindhen memang seorang wanita yang menyanyi sesuai dengan gendhing yang di sajikan baik dalam klenengan maupun pergelaran wayang. Istilah sinden juga digunakan untuk menyebut hal yang sama di beberapa daerah seperti Sunda, Banyumas, Yogyakarta, Jawa Timur dan daerah lainnya, yang berhubungan dengan pergelaran wayang maupun klenengan. Sindhen tidak hanya satu orang dalam pergelaran tetapi untuk saat ini pada pertunjukan wayang bisa mencapai delapan hingga sepuluh orang bahkan lebih untuk pergelaran yang sifatnya spektakuler.
Pada pergelaran wayang jaman dulu Sindhen duduk dibelakang Dalang, tepatnya di belakang tukang gender dan di depan tukang Kendhang. Hanya seorang diri dan biasanya istri dari Dalangnya ataupun salah satu pengrawit dalam pergelaran tersebut. Tetapi seiring perkembangan jaman, terutama di era Ki Narto Sabdho yang melakukan berbagai pengembangan, Sindhen dialihkan tempatnya menghadap ke penonton tepatnya di sebelah kanan Dalang membelakangi simpingan wayang dengan jumlah lebih dari dua orang.
Di era modern sekarang ini Sindhen mendapatkan posisi yang hampir sama dengan artis penyanyi campursari, bahkan sindhen tidak hanya dibutuhkan untuk mahir dalam menyajikan lagu tetapi juga harus menjaga penampilan, dengan berpakaian yang rapi dan menarik. Sindhen tidak jarang menjadi “pepasren” (penghias) sebuah panggung pertunjukan wayang. Bila Sindhennya cantik-cantik dan muda yang nonton akan lebih kerasan dalam menikmati pertunjukan wayang. Perkembangan wayang saat ini bahkan Sindhen tidak hanya didominasi wanita tetapi telah muncul beberapa orang Sindhen laki-laki yang mempunyai suara merdu seperti wanita, tetapi dalam dandannya sindhen ini tetap memakai pakaian adat jawa selayaknya pengrawit pria lainnya dan beberapa waktu lalu Sindhen laki ini malah menjadi trend para Dalang untuk menghasilkan nilai lebih pada pergelarannya.
(Oleh Ki Bambang Asmoro)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar