Sabtu, 06 September 2014

Mencari Jiwa Wayang


Abstraksi
“…yang pokoknya, harus mencari jiwa wayang, harus menjiwai wayang…”
-Ki Udreka, October 2004
“…dalang harus dilepaskan diri dari semua pikiran supaya semua perhatiannya
memfokuskan pada tokoh-tokoh wayang…”
-Pak Margiana, October 2004
“… dalang dan wayang adalah seperti keris dan sarungnya… segala sesuatu yang
mestinya bersama akan bersatu kalau bertemu…”
Sarah Weiss, 2003

Laporan ini bertujuan menyelidiki pendekatan atau gaya pembelajaran pedalangan wayang kulit. Laporannya merupakan suplemen dari pengalaman praktek saya sendiri belajar pedalangan dan pewayangan selama tiga bulan, mulai September sampai December 2005 di Yogyakarta. Studi laporan ini bukan penyelidikan tentang detailnya atau isinya yang dipelajari dalam pedalangan tetapi merupakan pembicaraan tentang konsep-konsep yang membentuk dan mempengaruhi pendekatan yang dilakukan oleh calon dalang untuk mengerti pembelajaran pedalangan. Memakai studi kasus di daerah kota Yogyakarta dan daerah pedesaan kabupaten Bantul, saya akan memberi pengantar tentang sistem pengetahuan, nilai-nilai dan perannya dalang.
Setelah membicarakan metodologi dalam bab yang pertama, bab yang kedua merupakan perkenalan secara singkat tentang latar belakang wayang kulit dan peran dalang. Bab ketiga merupakan pembicaraan tentang jalur pendidikan pedalangan yang formal dan yang non-formal serta ide ‘cinta wayang’ dan ide filsafat yang lain di belakang pembelajaran itu. Ada bagaimana wayang kulit yang klasik atau tradisional berada dalam dunia yang sudah moderen. Konsep ‘keturunan dalang’ dan gaya pembelajaran yang klasik atau tradisional, namanya nyantrik, akan dibahas dan dibandingkan dengan jalur pendidikan pedalangan yang diperoleh dari jalur formal dengan studi kasus Jurusan Pedalangan di Institut Seni Indonesia (ISI) di Yogyakarta.
Asal mulanya wayang kulit adalah untuk ritual dan keagamaan. Oleh karena itu pedalangan merupakan semacam seni yang memerlukan pendekatan yang menekankan unsur batin dan rasa. Motivasi dan filsafat dalam pedalangan bisa digambarkan mempunyai kemiripan dengan pencarian jati diri manusia dalam kehidupan atau pencarian pengetahuan dalam hidup manusia pada umumnya. Juga, karena wayang kulit mempunyai makna moral dan merupakan panduan hidup untuk orang Jawa, calon dalang dituntut untuk harus hidup dengan laku prihatin dan bermoral yang baik serta mempunyai pengetahuan yang luas baik masalah dunia maupun masalah dunia lain. Sering dalang dianggap sebagai orang yang mempunyai pengetahuan dan kekuasan yang luar biasa dan sangat berkaitan dengan dunia roh atau kehidupan yang tak kasat panca indera. Pada dasarnya, wayang kulit mencerminkan pandangan hidup orang Jawa dan kita bisa melihat nilai-nilai tradisi Jawa yang kental melalui tema-tema atau lakon-lakon yang ada dalam setiap pementasan wayang dan dalam pembelajaran pedalangan. Bab keempat akan membicarakan konsep-konsep penting untuk mengerti bagaimana mendalang dengan rasa dan menjiwai wayang. Konsep-konsep ‘rasa’, ‘lahir dan batin’, ‘pengejawantahan’, ‘prabhawa’ dan ‘bertapa’ menunjukkan menjadi dalang tidak sekedar pembelajaran ketrampilan gerakan atau musik saja akan tetapi seorang calon dalang harus belajar untuk bisa menjiwai intisari dari suatu karawitan dan pewayangan dengan sepenuh jiwa. Pendekatan pembelajaran pedalangan tidak akan lengkap tanpa pengertian peran sponsor atau para pendukung dan penonton. Calon dalang tidak akan berhasil kalau tidak bisa menyesuaikan diri dengan situasi apapun bergantung kepentingan penonton dan sponsor. Hal ini sangat terkait dengan konsepnya ‘rasa’ karena seorang dalang harus bisa merasakan dan menyesuaikan pertunjukkanya menurut kepentingan sponsor dan penonton.
Akhirnya, laporan ini akan membicarakan keprihatinan kehilangan tradisi lisan. Kian lama calon dalang lama menjadi tergantung pada pelajaran buku dan catatan dan unsur sponton dan kreativitas mungkin berkurang.
Daftar Isi
Prakata
2
Abstraksi 4
Bab 1: Pendahuluan 10
-Latar belakang studi lapangan 10
-Metode studi lapangan 12
-Masalah melakukan studi lapangan 15
Bab 2: Pengantar Wayang Kulit dan Dalang 16
-Latar belakang wayang kulit dan dalang 16
-Wayang kulit pada zaman moderen 18
-Keturunan dalang 20
Bab 3: Pendidikan Pedalangan 22
-Materi yang dibahas dalam pedalangan 22
-Dua jalur pembelajaran pedalangan: nyantrik dan formal 23
-Nyantrik 23
-Pendidikan pedalangan yang formal: Institut Seni Indonesia di Yogyakarta 24
-Tujuan nyantrik dan jalur formal 25
-“Cinta wayang”: motivasi dan filsafat dalam pendekatan
pembelajaran pedalangan
26
Bab 4: Mencari Jiwa Wayang
28
-Lahir dan batin
29
-Rasa 30
- Hubungan antara dalang, sponsor dan penonton 31
-Konsentrasi dan Pengejawantahan 32
-Hubungan antara tubuh dan pikiran 34
-Prabhawa 34
-Bertapa 36
-Keprihatinan mengenai kehilangan tradisi lisan dalam pedalangan 37
Bab 5: Kata penutup 39
Bibliografi 41
Bab 1 : Pendahuluan
Latar Belakang Penelitian
Yogyakarta terkenal sekali sebagai pusat budaya tradisi Jawa. Kraton dan tradisinya tetap pusat batin dan rasa bangga dan identitas orang Yogyakarta. Oleh karena itu, Yogyakarta merupakan salah satu tempat yang tepat dan bagus kalau ingin mengetahui dan mempelajari seni budaya Jawa. Banyak sekali kesenian Jawa hidup dan berkembang di Yogyakarta,seperti pedalangan,seni tari dan seni karawitan. Mengenai seni pedalangan, daerah Bantul, tempatnya ke arah selatan dari pusat kota Yogyakarta, merupakan daerah yang bagus untuk mengetahui dan mempelajari tentang wayang kulit yang masih gaya klasik. Tradisi pedalangan sangat dipertahankan di sana dan pergelaran-pergelaran wayang kulit masih mempunyai kepentingan sosio-religius. Juga ada banyak calon dalang yang belajar secara tradisional, yaitu dalam jalur nyantrik. Apalagi, daerah Bantul adalah daerah pedesaan yang tempatnya agak jauh dari keramean dan moderennya kota sehingga suasananya mungkin lebih dekat dengan asalnya wayang sehingga pendekatan pembelajaran pedalangan masih gaya klasik.
Pada bulan Agustus 2004, saya mendapat kesempatan untuk belajar budaya tradisi Jawa dengan beasiswa dari Pemerintah Indonesia (Departemen Luar Negeri) sebagai bagian dari program yang didirikan bertujuan untuk kerjasama antara anggota Australia and Southeast Asian Nations (ASEAN) dan Southwest Pacific Dialogue (SwPD). Progam itu diadakan di Pusat Olah Seni Retno Aji Mataram, Gedong Kiwo Yogyakarta. POS Retno Aji Mataram itu didirikan oleh Pak Sunaryadi pada tahun 1983 dengan harapan melestarikan dan mengembangkan seni budaya Jawa, khususnya bidang seni tari dan seni karawitan. Dengan tekad dan semangat yang kuat, Pak Sunaryadi berkeinginan untuk menampung minat danmengembangkan bakat para generasi muda dalam belajar menari dan karawitan. Selama 3 bulan, di POS Retno Aji Mataram itu saya dengan peserta lain belajar seni tari tradisional, seni karawitan, batik nyanyi, bahasa Indonesia dan menerima pembelajaran tentang masalah yang bersangkutan dengan hal tersebut. Untuk pertama kalinya program tersebut mengundang seorang dalang, Pak Udreka dari Bantul, untuk mengajar satu peserta agar bisa mendalang sementara peserta lain belajar karawitan untuk mendorong atau mendukung suatu pementasan wayang kulit mini. Ternyata saya berkesempatan untuk belajar pedalangan dan menjadi murid Ki Udreka dalam program tersebut. Dari situlah saya mulai semakin tertarik pada wayang kulit dan intrumen pendukungnya khususnya perannya dalang dalam suatupertunjukan wayang. Demikian, saya memutuskan untuk membuat studi lapangan ini.
Banyak penulis sudah meneliti tentang wayang kulit; sejarahnya, lakonnya, hubungan dengan etika dan moral Jawa, fungsi sosial, perubahan fungsi dari relijius ke komersial, kreasi-kreasi baru, perbedaan antara gaya Yogyakarta dan gaya Solo dan lain sebagainya. Untuk membataskan dan memfokuskan studi lapangan, saya mencari informasi dalam buku-buku dan artikel-artikel istilahnya mengenai dalang. Sementara membaca semua yang bisa saya dapat, semakin merasa bahwa sebagian besar penelitian itu memfokuskan pada hasil dalang-dalang. Yaitu, maknanya atau artinya pertunjukkan wayang kulit.
Semua penulis sangat terkagum ketrampilan dan pengetahuan dalang. Sering dalang digambarkan sebagai orang yang mempunyai kekuatan khusus. Kemudian, saya semakin ingintahu tentang prosesnya bagaimana belajar supaya mengerti wayang kulit dan bisa mendalang. Apa motivasi dan filsafat di belakang proses pembelajaran itu. Demikian, itu menjadi persoalan pribadi, karena saya sendiri pun belajar untuk bisa mendalang, dan persoalan akademik, sebagai topiknya studi lapangan ini.
Metode Studi Lapangan
Waktunya studi lapangan ini mulai bulan September 2004 sampai bulan Januari 2005. Selama beberapa minggu pada awalnya, waktu saya habiskan mencari dan membaca informasi tentang wayang pada umumnya. Permasalahan saya bertujuan membuat topik yang pas dengan keperluan dan batasan program UMM studi lapangan ini. Selain memakai sumber bacaan, saya juga berbicara dan bertanya banyak dengan guru-guru saya di POS Retno Aji Mataram dan dengan keluarga dan teman Pak Udreka. Akhirnya, waktu topik ini saya temukan dengan jelas, metode studi lapangan juga menjadi lebih terfokus. Yang berikut merupkan empat pendekatan metodologi kwalitatif yang saya pakai.
1.Bahan bacaan: Saya bermetode memakai bahan bacaan untuk sebuah latar belakang tentang wayang dan dalang dan untuk menemukan apa yang belum diteliti di bidangnya.
1. 2. Pengamatan dan pembicaraan non-formal: sebagian besar informasi yang paling berharga saya dapat dari berkutat dunia pewayangan dan karawitan. Dengan pertimbangan wayang kulit merupkan semacam pertunjukkan dan peristiwa sosial, sangat pentinglah mengamati dan bertanya selama pergelaran. Saya mengikuti kuliah di Institut Seni Indonesia, pergelaran-pergelaran wayang kulit, pertemuan antara sponsor, dalang dan pejabat. Sering kali saya mengikuti Pak Udreka selama persiapan pergelaran dan mendapat kesempatan untuk bertanya dengan pengrawit, pesinden, pembuat wayang dan orang lain yang berada di dunia wayang. Yang sangat penting juga adalah waktunya yang saya berkudut di rumah Pak Udreka dan cantriknya di Bantul untuk mengamati dan mengalami gaya hidup di pedesaan Bantul.
2. 3. Pengalaman saya sendiri belajar wayang kulit. Pengalaman ini sangat penting untuk menghargai persoalan pedalangan. Sebenarnya memegang wayang dan memainkan gamelan memberi pengalaman yang lebih dalam. Pengalaman ini khusunya berguna untuk mengerti hubungan-hubungan dalam dunia pewayangan.
3. 4. Wawancara: Memakai segala informasi dan pikiran dari sumber di atas, saya menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang akan saya gunakan dalam wawancara. Karena topik saya tentang proses pembelajaran dalang wayang kulit, maka dalang-dalang dan murid-murid dalang merupakan orang yang mau saya cari untuk mewawancarai. Di samping orang itu, orang dari dunia seni tradisional Jawa, khususnya dari bidang karawitan, juga diwawancari atau ditanyakan karena pewayangan sangat terkait
bidangnya seni tradisional Jawa pada umumnya. Sering saya melakukan wawancarawawancara itu memakai rekaman kaset mini.
Sebagian besar data studi lapangan ini didasarkan pada pembicaraan dengan Pak Udreka. Di rumahnya tiga orang mudah sedang nyantrik sama Pak Udreka jadi saya dapat kesempatan berbicara dengan mereka juga. Salah satu dari tiga murid itu asli keturunan dalang, dan dua lain dianggap sebagai baru belajar. Pak Margiana, pengrawit, pembuat wayang dan orang keturunan dalang memberi banyak komentar dari segi yang bisa disebut tradisional. Orang lain yang sering saya tanyakan termasuk orang dari sanggar Pusat Olah Seni Retno Aji Mataram: Pak Raharja dan Pak Subuh, dua-duanya pemain gamelan dan dosen jurusan karawitan di ISI. Juga Pak Sunaryadi dan Bu Mari. Mereka generasi tua dari penari kraton dan keluarganya berhubungan dengan Sultan Hamengkuwubono.
Latar belakang Pak Udreka Hadiswasana Pak Udreka adalah seorang Jawa yang bukan keturunan dalang. Beliau menjelaskan bahwa sekitar tahun 1983 setelah SMP beliau baru tertarik untuk masuk SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) belajar karawitan. Kemudian beliau meneruskan di Institut Seni Indonesia (ISI) dibawa program studi pedalangan. Pak Udreka adalah mahasiswa yang pertama bisa lulus Sarjana 1 dengan praktek mendalang daripada menulis suatu skripsi. Kemudian, beliau sering kali diundang mendalang di luar sekolah dan demikian semakin diketahui oleh masyarakat. Tidak lama setelah itu beliau diminta oleh ISI mengajar di sana. Selain menjadi dosen di jurusan pedalangan di ISI, Pak Udreka juga menjadi ketua Pepadi (Persatuan Pedalangan Indonesia) di kabupaten Bantul. Pepadi itu merupakan suatu organisasi bertujuan melestarikan dan memperdayakan wayang kulit dan cabang Bantul itu cabang yang paling aktif. Beliau juga terlibat dalam wayang ukur, semacam wayang yang moderen.
Masalah melakukan studi lapangan
Masalah yang paling besar melakukan studi lapangan ini adalah persoalan bahasa Jawa. Bahasa wayang kulit adalah bahasa Jawa dan sebagian besar pembicaran antara orang di dunia wayang memakai bahasa Jawa. Ada banyak konsep yang sangat sulit disampaikan di luar bahasa Jawa. Saya sangat beruntung menerima bantuan Pak Udreka yang menerjemahkan dengan sangat sabar.
Studi lapangan ini juga terbatas karena sangat susah mengerti dan meneliti wayang kulit yang sangat bersejarah dan sangat dekat dengan budaya Jawa dengan waktunya beberapa bulan. Sering saya akan membicarakan hal yang sangat rumit dengan kata-kata yang terlalu sederhana dan mungking terlalu umum. Saya inging menekankan studi lapangan ini merupakan perkenalan yang singkat tentang pembelajaran pedalangan.
Bab 2: Perkenalan Wayang Kulit dan Dalang
Perkataan ‘wayang’ mengandung sejumlah pengertian. Pengertian pertama adalah ‘gambaran tentang suatu tokoh’, ‘boneka’, yaitu boneka yang dimainkan dalam sebuah pertunjukkan wayang. Pengertian ini kemudian diperluas sehingga meliputi juga pertunjukkan yang dimainkan dengan boneka-boneka tersebut, dan lebih luas lagi adalah bentuk-bentuk seni drama tertentu. Dengan demikian wayang kulit bermaksud boneka itu dibuat dari kulit kerbau dan bayangan boneka-boneka kulit diproyeksikan di atas kelir dengan bantuan sebuah lampu. Wayang juga termasuk lakon-lakon atau cerita-cerita yang dipentaskan. Cerita-cerita wayang purwa mengambil seluruh atau sebagian bahannya dari wiracerita India Ramayana dan Mahabharata dalam versi Jawa. Lakon purwa itu juga bertalian dengan cerita-cerita mengenai asal-usul orang Jawa, dan riwayat nenek moyang mereka yang telah didewakan itu. Ada bentuk wayang lain juga, misalnya, tari wayang wong, wayang golek, wayang klithik, tetapi studi lapangan ini memfokuskan pada wayang kulit. Wayang kulit purwa, khusunya, mempunyai kaitan yang sangat erat dengan masyarakat Jawa. Pada umumnya wayang memang dianggap sebagai puncak kebudayaan Jawa. Dalang adalah tokoh utama dalam wayang kulit. Dia adalah penutur kisah, penyanyi lagu (suluk), yang mengajak memahami suasana pada saat tertentu, pemimpin suara gamelan yang mengiringi, dan di atas segalanya itu, dadalah pemberi jiwa pada boneka wayang.
Fungsinya asal pertunjukkan wayang kulit untuk ritual- termasuk upacara bersih desa, perkawinan, sunatan, kelahiran, ruatan dan sebagainya. Demikian, karena kepentingan ritual, dalang-dalang dianggap oleh masyrakat pada umumnya mempunyai pengetahuan dan kekuatan yang khusus dan yang berbeda dari orang biasa. Penulis Ward Keeler (1987) dalam bukunya berjudul “Javanese Shadow Plays, Javanese Selves”, menekankan pesona dalang dalam kebudayaan Jawa. Dia berpendapat pesona itu muncul dari kekuatan dalang dan citra bayangan wayang kulit yang sukar ditangkap atau dipahami dan berlawanan asas (Keeler 1987: 268). Dalam artikel lain dia menulis,
“bayangan merupakan sesuatu yang, pada waktu yang sama, ada tetapi tidak
nyata. Dalangnya juga, pada waktu yang sama, adalah tokoh yang mempunyai
kuasa mutlak tetapi juga tidak kelihatan” (Keeler 1991: 21).
Seorang penulis lain, Ruth McVey menggambarkan peran dalang begini,
“Asalnya, seorang dalang adalah bukan pemain biasa. Seorang dalang
menyiapkan diri secara batin dan lahir sebelum sebuah pertunjukkan semalam
suntuk dan sering mempertunjukkan dengan tidak sadarkan diri. Seharusnya,
dalang itu bermoral tinggi, mempunyai kebijaksanaan dan berhubungan yang
sangat dekat dengan dunia kebatinan; karena itu pendapat dan kata-kata
dalangnya dianggap penting” (1990: 38-9).
Secara tradisional, pengetahuan pewayangan dan pedalangan diwariskan dari bapak kepada anaknya, termasuk sifat-sifat batin. Sebuah pertunjukkan wayang kulit yang klasik, dinamakan semalam suntuk, lamanya delapan jam atau lebih lama lagi, biasanya mulai jam delapan malam sampai jam empat atau lima pagi. Selama pertunjukkannya, seorang dalang duduk di belakang kelir, menggerakan wayang, menyuarakan wayang, menyanyi bahasa khusus dan memimpin karawitan. Dia tetap di posisi itu, tanpa makan, mungkin rokok dan minum the sedikit. Dalam penelitianya, penulis Claire Holt menggambarkan dalang itu sebagai “pusatnya dunia wayang” (1967: 131). Memang, wayang kulit menandakan dunia: lampunya adalah matahari, kelirnya adalah dunia, dan dalangnya adalah yang menguasai semua yang terjadi. Holt (1967: 131) menyebut kata-kata seorang penyair Jawa, RM Noto Soeroto, “Tuhan adalah dalang tertinggi.” Kalau dalam bahasa Indonesia sehari-hari, dalang berarti ‘orang dengan kekuasan mutlak atau orang yang menguasai sesuatu dari belakang.’ Nama dalang diberi gelar “Ki”, misalnya Ki Udreka atau Ki Timbul. Gelar itu mengandung arti hormat dan berkonotasi orang yang mempunyai kekuasan atau pengetahuan khusus. Dalang sering dianggap berhubungan dengan yang supernatural atau kekuatan gaib. Sebuah pertunjukaan wayang kulit biasanya termasuk laku, misalnya puasa dan sesaji. Wayang kulit dan dalang sangat terkait dengan kebatinan dan kejawen.
Wayang Kulit Pada Zaman Moderen
Sebagian besar penelitian membicarakan pengurangan arti dan kepentingan ritual mengenai wayang kulit. Sekarang, sering pertunjukkan wayang kulit bercenderung hiburan. Analisis Ruth McVey bercomentar: “segi agama atau ritual wayang berkurang, sehingga itu menjadi hanya semacam hiburan. Bahkan, di pedesaan selama upacara ritual, wayang menjadi semacam adat tanpa makna kebatinan” (1990: 39). Menurut dia, budaya tradisional sekarang seperti hiasan tidak bermakna lebih dalam. Walaupun, penulis lain, termasuk Claire Holt (1967), Ward Keeler (1987) dan Laurie Sears (1996), dan dalam pengalaman saya sendiri pun, masih ada dua-duanya. Yaitu, wayang kulit sering dipertunjukkan sebagai semacam hiburan tetapi juga ada yang bertujuan ritual atau kebatinan. Menurut saya, wayang berasal ritual, dan masih terkait dengan kepentingan agama. Misalnya, ada lakon tertentu yang tidak sembarang dalang berani mewayangkan. Hanya dalang senior yang terhormat dan dianggap mempunyai ilmu batin bisa mempertunjukkan suatu ruwatan performance. Contoh lagi, saya ada kesempatan untuk melihat Ki Timbul mewayangkan Rubuhan- bagian yang terakhir Mahabharata. Lakon itu tidak sembarang bisa mendalang dan ada upacara sebelum dan setelah pergelarannyayang dilakukan oleh Ki Timbul dengan sesaji makanan, bunga dan kepala kerbau. Dalam pertunjukkan begitu, yang penting adalah kekuasan dalang dan lakon. Orang Jawa masih mencari kekuasan kebatinan yang ada dalam wayang waktu terhadap persoalan dalam dunia yang moderen.
Akan tetapi, karena banyak bentuk kesenian dan hiburan yang moderen juga sudah masuk Jawa, wayang kulit dikembangkan menjadi semacam seni supaya bisa bertanding dengan unsur baru atau moderen. Di beberapa institut seni, banyak inovasi baru dan unsur moderen dicampur dengan wayang sebagai semacam bentuk kesenian. Misalnya,Wayang Ukur di Yogyakarta atau Wayang Padat di Solo bertujuan menggarap lagi wayang kulit supaya wayang itu bisa tetap sesuai dengan dewasa ini. Wayang moderen itu melakukan suatu experimen dengan berbagai lampu, bermacam-macam warna, desain tokoh yang baru, beberapa dalang mempertunjukkan bersama-sama dan musiknya juga berbeda.
Juga ada persoalan mengenai bagaimana wayang kulit dipergunakan untuk tujuan politik. Misalnya, selama Orde Baru, dalang tidak sungguh-sungguh bebas menemukan isinya wayang kulit. Persoalan ini dibicarakan oleh banyak penulis, termasuk, Ruth McVey (1990), Laurie Sears (1996), dan Marshall Clark (2001). Laurie Sears bercomentar: “Wayang kulit tidak tetap sama tetapi selalu berubah. Itu sudah melayani tujuan berbagai pemerintahan, membawa pesan-pesan tertentu” (1996:232). Topik ini sangat penting dan rumit tetapi tidak termasuk dalam studi lapangan ini.
Keturunan Dalang
Ada dua macam orang dalang. Yang pertama, bisa dinamakan keturunan dalang atau asli dalang. Yang kedua, adalang orang yang baru belajar sendiri karena keluarganya bukan dalang. Keturunan dalang itu bermaksud orang itu dari generasi-generasi dalang; bapaknya seorang dalang, kakeknya seorang dalang dan sebagainya. Kalau seorang anak dibesarkan dalam keluarga dalang, sejak kecil, ia dengan terus-menerus terkeliling oleh dunia wayang itu. Dia sering ikut ke pementasan, dan akan membantu dengan persiapan dan selama pementasan. Selama pementasan dia akan bermain dengan temannya, tidur di panggung, dan sering menirukan gerak-gerik dan suara dalang. Itu seperti permainan untuk anak itu tetapi sering seseorang, misalnya seorang niyaga akan bercomentar tentang apa yang bagus atau yang salah mengenai gerakan atau suaranya anak itu. Dengan cara demikian, seorang anak keturunan dalang menjadi terbiasa dengan semua unsur pertunjukkan wayang kulit sejak kecil. Dengan selalu menonton dan mendengar dari malam ke malam, ia akan mengenal banyak lakon, dikenal dengan pada para tokoh, cara bersapa yang benar bagi tiap wayang suara, gerak-gerik, serta keistimewaanistimewaannya sendiri-sendiri. Selama persiapan pertunjukkan wayang kulit, anak itu juga diberikan kesempatan untuk berpraktek. Dalam waktu itu, anak itu, terkadang dari dalang sendiri tetapi sering dari niyaga, akan memberikan bimbingannya.
Menurut Pak Udreka dan salah satu gurunya, Pak Margiana, dua-duanya sekarang kerjasama, saling mendorong dan saling ke sama arahnya pelestarian wayang. Silsilah atau keturunan dalang masih ternilai tetapi seseorang bisa belajar pedalangan di sekolah atau universitas untuk menjadi seorang dalang yang berhasil, terkenal dan terhormat. Ward Keeler meneliti tentang wayang di Solo dan menyebut,
“sekolah umum dan, sekolah pedalangan di Kraton Solo dan Yogyakarta
memberikan dalang tingkat pembelajaran umum yang dianggap penting dalam
pelatihannya dan pertunjukannya” (Keeler 1987:183).
Bab 3: Pendidikan Pedalangan
Materi yang dibahas dalam pedalangan
Seperti digambarkan di atas, seorang dalang memang harus belajar banyak macam hal,
termasuk musik, gerakan wayang dan sejarah wayang. Studi lapangan ini lebih
bercenderung suatu pembicaraan tentang pendekatan atau gaya pembelajaran wayang dan
tidak akan membahas isinya pembelajaranny. Sebagai kesimpulan ada kutipan dari Claire
Holt yang mendaftar materi yang harus dipelajari oleh secalon dalang:
“Tambo (sejarah), yaitu pengetahuan cerita yang tua, sejarah raja dan silsilah, dan sebagainya. Gending (musik), pengetahuan yang sangat dalam tentang musik, mode, nyanyian dan lagu yang mengiringi suatu pergelaran wayang kulit. Gendeng (puisi), keahlian menyanyi puisi atau hafalan yang didiringi oleh karawitan dan mengucapkan hafalan yang berrkait dengan bunyi gamelan. Gendeng (keberanian yang terlepas): “berperilaku seperti orang yang tenang,” melupakan diri sendiri, tanpa rasa malu. Bahasa: keahlian berbagai tingkat-tingkat ucapan yang cocok dengan status tokoh wayang masin-masing. Ompak-ompakan (fasih bicara): seorang dalang harus bisa menggambarkan keindahan segala dengan kata-kata yang fasih dan membawanya di atas nyata yang biasa sesuai dengan pewayangan Ilmu batin: kepintaran menjelaskan secara terperinci initisarinya ilmu batin kalau, misalnya, dalang menjiwai pendeta yang memberi nasihat kepada seorang kesatriya. Ilmu batin tidak bermaksud agam tetapi mencapai kesempurnaan jiwa dan kesaktian.” (Holt 1967: 132).
Di samping segala keperluan ini, seorang dalang harus bisa menggerakan wayang
(sabetan). Yang pokoknya, adalah seni menceritakan dan hubungannya dengan musik,
dan menghidupkan wayang and menjelaskan dengan terperinci kesaktian.
Dua jalur pembelajaran pedalangan: nyantrik dan formal
Ada berbagai cara bagaimana pendidikan terhadap generasi baru dalang-dalang itu diberikan. Baik metode-metode tradisional maupun moderen berjalan bersama-sama. Dalam studi lapangan ini, saya akan membicarakan dua jalur yang luas mengenai pembelajaran pedalang. Yang pertama, dinamakan ‘nyantrik’, dan yang kedua itu jalur formal.
Nyantrik
Nyantrik merupakan pembelajaran di luar struktur pendidikan yang formal. Seorang murid mengabdi pada seorang dalang yang sudah senior. Murid itu tinggal di rumah dalang dan akan membantunya. Misalnya, membantu dengan tugas rumah tangganya, pembersihan, dan juga ikut dan membantu kalau ada pergelaran wayang kulit. Seperti seorang anak keturunan dalang menjadi terbiasa dengan dunia wayang kulit dengan selalu berada dekat pertunjukkannya, sama dengan calon dalang yang mengikuti dalang itu ke mana saja. Selain menonton wayang kulit, calon dalang itu akan mendengarkan pembicaraan di antara dalang-dalang. Ini penting sekali juga, karena dalang muda belajar mengenai tata cara tingkah laku dunia dalang. Di dalam kritik terhadap dalang-dalang lain,d ia akan menangkap bermacam-macam penilaian positif dan negatif terhadap teknik-teknik tertentu, tentang cara memainkan tokoh wayang tertentu, dan mengenai sistem nilai yang berlaku untuk menimbang suatu pergelaran, demikian juga hubungan antara dalang, penonton, tuan ruman dan anggota rombongannya.
Dengan nyantrik, selain pengalaman di pementasan, secalon dalang ada banyak kesempatan bertanya-tanya pada dalang di rumah. Cara bagaimana pengetahuan itu disampaikan oleh guru kepada muridnya tidak diatur, dan sedikit-banyak bergantung kepada prakarsa murid.
Bagaimana nyantrik jadi? Biasanya, seorang murid akan mendekati seorang dalang dan minta menjadi abdi pada dalang itu. Pemilihan seorang calon terhadap dalang tertentu biasanya didasarkan atas kekagumannya terhadap keterampilan atau pengetahuan istimewa yang dimiliki dalang tersebut, yang diharapkannya akan bisa dimilikinya juga. Pak Udreka berkata bahwa dalang saling mempunyai kelebihan tersendiri. Misalnya, Ki Timbul dengan dramatis atau Ki Hadisugita dengan pola yang lucu. Pak Udreka menjelaskan tentang pengalamanya: “saya menginginkan suatu kesepurnaan. Bagaimana lucunya Pak Adisugita bisa saya serap. Bagaimana sabetannya atau gerakan-gerakan wayang dalang lain yang bagus itu bisa saya serap.” (Wawancara 14 November 2004) Selanjutnya, saya bertanya pada Pak Udreka mengapa dia menerima murid yang mau nyantrik dengannya. Beliau menjawab,
“karena suatu kesempurnaan ilmu, itu akan dapat sempurna apabila ilmu yang
saya dapat nanti akan saya berikan pada orang lain. Kami akan sangat bangga
tatkala ia nanti akan lebih berhasil daripada saya” (Wawancara 14 November
2004).
Pendidikan Pedalangan Yang Formal: Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta
Jalur ini bermaksud belajar di sekolah atau universitas. Sebagai sebuah contoh, ada jurusan pedalangan di Institut Seni Indonesia di Yogyakarta. Jurusan itu dibagi menjadi dua program: gaya Solo dan gaya Yogyakarta. ISI adalah institut negeri bukan swasta, jadi struktur pembelajarannya prinsipnya sama dengan perguruan tinggi lainnya. Ada kuliah umum, termasuk bahasa Indonesia dan Inggris, dan kuliah khusus, seperti sosiologi pedalangan dan praktek pedalangan, karawitan. Program pedalangan di ISI memerlukan empat setengah tahun. Menurut penulis Van Groenendael (1987), dalam bukunya “Dalang Di Balik Wayang”, minat terhadap bentuk pendidikan bagi dalang yang lebih sistematik dan formal itu semakin berkembang sejak dibukanya sekolah-sekolah keraton pada tahun 1920-an. Sekolah keraton, swasta dan negeri untuk pedalangan mengakibatkan lebih tekanan pada segi artitistik dan intelektual.
Tujuan nyantrik dan jalur formal
Menurut Pak Udreka dan muridnya, dua-duanya nyantrik dan pendidikan formal adalah penting. Jalur formal itu memberikan struktur, kesempatan untuk interaksi dengan murid lain dan bermacam-macam gaya pengajaran. Kalau lulus di ISI murid mendapat sertifikat yang juga bermanfaat kalau mencari pekerjaan. Nur, seorang murid dalam jurusan pedalangan di ISI berkata: “di samping bisa mendalang, ingin juga untuk masa depannya untuk dapat kerja. Hidup budaya, tapi budaya juga untuk hidup” (Wawancara 14 November 2004). Mengenai kepentingannya jalur nyantrik, Nur berkata, “kalau di ISI pelajarnya tidak ke pentas” (Wawancara 14 November 2004). Van Groenendael, menjelaskan dua alasan tentang dibukanya sekolah-sekolah dalang istana: “satu: ketidakpuasan terhadap mutu pertunjukan kebanyakan dalang sebagai akibat kurangnya pendidikan, dan dua: ketidakmampuan dalang mengikuti perkembangan masyrakat di dalam pergelaran-pergelaran mereka, sehingga daya tariknya terhadap kaum intelektual Jawa menurun.” (1987: 54). Sekolah dalang juga bertujuan “untuk menanamkan rasa tanggung Jawa terhadap tradisi mereka sendiri kepada para dalang yang memang berwatak tradisionalistis itu.” (Van Groenendael 1987:305) Akan tetapi, pendidikan pedalangan yang formal juga memiliki berbagai permasalan untuk dalang-dalang. Pak Udreka menyampai keprihatinan mengenai ketidakcocokannya mencoba menilai mahasiswa dalang karena sangat sulit menilai calon dalang menurut sistem pendidikan yang formal.
Pak Udreka mengatakan, “kalau kita belajar dengan menulis, apa manfaatnya tatkala saya mendapat kesempatan mempertunjukkan?” (Wawancara 14 November 2004). Menurut Pak Udreka, melalui nyantrik bisa belajar secara langsung, secara nyata. Apa lagi, pengalaman melihat dan belajar wayang kulit yang di luar sekolah sangat berbeda karena had berbagai unsur yang masuk di dalam itu: penonton, busana, kostum yang lengkap, pengrawit yang lengkap, pesinden. Dan semua unsur itu sangat berpengaruh. Jadi, pengalaman yang aktual sangat bermanfaat dan penting pada orang-orang pelajar karena sebuah pergelaran wayang kulit merupakan suatu peristiwa sosial. Pengertian suasana wayang kulit amat diperlukan kalau belajar pedalangan.
“Cinta Wayang’: Motivasi dan filsafat dalam pendekatan pembelajaran pedalangan
Waktu saya berbicara dengan Pak Udreka tentang motivasinya dan motivasinya pelajar mengenai pembelajaran pedalangan, beliau menekankan pentingnya ‘keingintahuan’, ‘apresiasi’ dan ‘cinta’ terhadap wayang kulit. Menurut beliau, pelajar yang paling bagus adalah orang yang tidak bertujuan menjadi dalang. Dengan kata Pak Udreka,
“pelajar yang berkata ‘saya kepingin mengerti apa yang ada di dalam dunia pedalangan itu’, mereka memang prestasinya bagus . Dia terus bertanya bagaimana. Dengan keinginan untuk tahu itu sangat diharapkan mahasiswa itu berprestasi bagus karena secara otomatis mencari pengetahuan. Keingintahuan itu akan membawa dia laku di pasaran, prestasi bagus, mendapat pekerjaan dsb. Terbaliknya, mahasiswa yang belajar pedalangan bertujuan menjadi dalang, tatkala ia memperoleh mata kuliah pedalangan selagi dia bisa mendalang, misalnya ‘o rasanya ini mendalang’, maka dia akan merasa sudah mencapai tujuanya semula” (Wawancara 14 November 2004).
Jadi, pendekatan pembelajaran wayang seharusnya didasarkan filsafat pembelajaran terus-menerus seluruh hidup. Isteri Pak Udreka, Bu Rita, membandingkan proses pembelajaran pedalangan dengan proses hidup pada umumnya. Yaitu, sebuah pencarian untuk pengetahuan dan pengertian yang meneruskan tanpa tujuan akhir yang tertentu.
Keingintahuan itu muncul dari cinta dan apresiasi terhadap wayang kulit. Seorang calon dalang punya minatnya yang hebat sekali. Ia akan selalu mencari-cari kesempatan atau meluangkan waktu untuk menonton setiap pergelaran wayang. Selama saya jalan-jalan di daerah Bantul dengan Pak Udreka, dalang muda dan rombongan gamelan, selalu ada wayang diperdengarkan dari kaset musik atau seseorang melatih menyuarakan tokoh wayang, atau seseorang menggerakan wayang, atau menirukan bunyinya kendang atau intrumen musik Jawa yang lain. Mereka berpandangan bahwa wayang kulit itu merupakan pusat dari hidupnya dan‘cinta wayang’ menjadi dasar pembelajaran pedalangan.
Bab 4: Mencari Jiwa Wayang
Kalau mau membicarakan tentang proses pembelajaran pedalangan pada dewasa ini, tidak ada satu penjelasan atau jalur pendidikan. Generasi dalang yang tua asal dari tradisi lisan sementara juga ada banyak sekolah dalang yang bergaya pendidikan yang formal dan sistematis. Dalam pengalaman saya sendiri dua-duanya cara pembelajaran pedalangan bercampur. Walaupun pendidikan formal dianggap penting, intisari pewayangan yang klasik masih memerlukan ketrampilan yang hanya bisa dipelajari secara lisan. Yaitu, ada semacam kreativitas dan unsur rasa dalam pewayangan yang hilang kalau dipelajari secara pendidikan formal. Seperti banyak macam seni dan tradisi lisan, tidak ada satu cara yang betul untuk mendalang, tetapi yang penting adalah penafsiran masing-masing secara individual. Sebenarnya, tujuan yang pokok adalah mencari jiwa wayang. Apalagi, yang paling penting dalam pembelajaran pedalangan adalah kemampuan menyesuaikan situasi-situasi apapun. Seorang dalang akan benarbenar berhasil kalau menyesuaikan pergelarannya dengan situasi setempat. Dalang bergantung kepada kepentingan penonton dan tuan rumah atau sponsor. Hal ini terkait dengan mempertunjukkan dengan rasa. Konsepnya rasa sangat penting dalam pedalangan dan artinya sangat luas. Sebelum pendirian sekolah-sekolah dalang sekitar 1920-an, pedalangan dipelajari secara non-formal dalam keluarga keturunan dalang. Yaitu, seorang dalang mengajar pengetahuan pedalangan kepada anaknya. Pada umumnya tidak ada sumber bacaan, tetapi seorang calon dalang belajar secara langsung dengan tradisi lisan memakai mata, telinga dan paling penting, hatinya. Seorang dalang mudah belajar untuk bisa merasakan wayang. Oleh karena itu, sekarang sebagian besar dalang yang berumur 50 tahun lebih tidak bisa menjelaskan tentang wayang secara sistematis tetapi hanya melalui mempertunjukkan keahliannya. Misalnya, sering waktu saya melihat Pak Margiana membicarakan dengan anaknya, beliau menjawab pertanyaan tanpa perkataan tetapi dengan memainkan suatu kendang. Beliau berkata bahwa pewayangan dimengerti dari segi rasa, dari hatinya.
Lahir dan batin
Dalam satu pembicaraan dengan Pak Udreka dan Pak Margiana, mereka menjelaskan ada unsur lair dan batin dalam pedalangan. Lahir dan batin adalah konsep-konsep yang sangat penting dalam pandangan Jawa yang umum, itu digambarkan oleh Franz Magnis-Suseno, dalam bukunya Etika Jawa, begini,
“pandangan dunia Jawa bertolak dari suatu distingsi antara dua segi fundamental
realitas, yaitu segi lahir dan segi batin. Kedua segi itu bersatu dalam manusia.
Sebagai makhluk alam manusia merupakan makhluk jasmani, ia memliki dimensi
lahir dan kita mengerti orang lain pertama-tama melalui lahirnya. Tetapi di
belakang lahirnya itu terselubunglah segi batinnya. Lahir manusia terdiri atas
tindakan-tindakan, gerakan-gerakan, omonganya, dan sebagainya. Batin
menyatakan diri dalam kehidupan kesadaran subyektif” (1984: 117).
Dalam belajar pedalangan, dua-duanya keterampilan lair dan kekuatan batin harus dikembangkan.
Rasa
Pak Udreka berkata,
“walaupun wayang dibuat dari kulit, kalau penonton nangis, marah tertawa, maksudnya rasanya sampai” (Wawancara 20 October 2004).
Yaitu, suatu pertunjukkan wayang kulit dianggap berhasil kalau ada rasa. Perkataan rasa mengandung berbagai makna tetapi, dalam konteks ini, rasa itu terkait dengan makna yang dalam. Dalam pewayangan, rasa itu bisa dikatakan jiwa dari wayang itu. Kalau diperluaskan lagi, rasa merupakan prosesnya atau kemampuanya menyampaikan makna yang dalam. Mark Benamou, dalam bukunya “Rasa In Javanese Musical Aesthetics”, menulis: “rasa itu, terkait dengan teori-teori tingkat perkembangan kesadaran yang tinggi” (1998: 62). Orang yang mempunyai kekuatan batin, yang menyadari alam halus, bisa mempertunjukkan dengan rasa. Juga, rasa terkait dengan pengertian tertib masyarakat dan tertib semesta. Prosesnya mencari jiwa wayang untuk menyampaikan rasanya bisa mempersamakan dengan prosesnya hidup manusia. Ada banyak langkah mulai dari perkenalan kepribadiannya tokoh wayang melalui belajar sejarahnya, makna kelihatannya. Setiap tokoh wayang mempunyai bentuk mata, hidung, wajah, badan dan pakaian yang menyampaikan maknanya mengenai sifat pribadinya. Memang belajar sifat tokoh wayang dan hubungannya dengan tokoh lain dan dalam lakon-lakon memerlukan tahun-tahun.
Hubungan antara dalang, sponsor dan penonton
Dalam pewayangan dan karawitan, rasa itu juga sangat terkait dengan pengertian mengenai apa yang cocok atau tidak dalam situasi-situasi tertentu. Yaitu, pengertian tentang hubungan-hubungan menurut etika Jawa. Calon dalang harus belajar hubunganhubungan antara unsur-unsur seni, misalnya antara musik dan gerakan wayang, tetapi juga hubungan antara dalang dan sponsor (orang yang mengundang) dan dalang dengan penonton. . Dalang, penonton dan tuan rumah atau sponsor saling tergantung, berpengaruh dan timbal baliknya. Ada pembicaraan yang menarik dalam buku Keeler (1987) tentang hubungan kekuasaan antara sponsor dan dalang. Hubungan tersebut tidak jelas karena walaupun dalang diundang dan dibayar oleh sponsor, kebalikan sponsor tergantung keberhasilan pertunjukkan dalang. Sebenarnya, sponsor diwakili oleh dalang dan kalau wayang kulit diadakan untuk kepentingan ritual sponsornya tergantung keberhasilan pertunjukkan untuk rejeki di masa depannya. Dari segi tuan rumah, ada dua macam kepentingan untuk mengadakan wayang kulit yang bisa disebut ‘pribadi’ dan ‘umum’. Kepentingan pribadi termasuk bermacam-macam upacara seperti sunatan, perkawinan, mitoni, tetesan dan lain-lain. Kepentingan yang umum termasuk upcara bersih desa, perayaan hari raya dan kejadian peresmian. Mengenai penonton, ada berbagai alasan untuk menghadiri suatu pergelaran wayang kulit, dan penonton bisa dikumpulkan menjadi dua macam: penonton pada umumnya yang hanya sekedar dan tidak begitu tahu tentang wayang dan ada penonton yang proaktif seperti penggemar, penikmat, budayawan atau kritikus. Dalang tergantung diterima oleh penonton dan dianggap berhasil kalau ada banyak penonton yang hadir. Sering kemampuan dan kekuasaan dalang dikeritik menurut banyaknya penonton. Misalnya, Pak Udreka menekankan kekuasaan Ki Timbul dengan kata-kata, ‘selalu ada banyak penonton di pergelaran Ki Timbul dan sebagian besar penonton itu akan tetap menonton sampai selesai’ (Wawancara 22 October 2004). Sebenarnya, menonton wayang kulit bisa dianggap sebagai semacam renungan atau meditasi. Menurut kejawen, kalau seorang sepi di lairnya, tetapi batinnya akan lebih ramai. ‘sepi ing lair, ramai ing batin’. Jadi, penonton wayang, kalau duduk, sepi, selama waktu yang lama, dan menangkap segala yang ada dalam lakonnya, itu merupkan semacam pelatihan penguasan kebatinan. Penonton itu bisa mengembangkan keheningan pikirannya dan mungkin menyatukan diri dengan wayangnya. Pada umumnya, proses ini bisa digambarkan sebagai: membuka pikirannya mencari kebenaran. Bahkan, Pak Udreka berkata bahwa kalau seseorang sungguhsungguh menghayati wayang, apa saja tidak bisa mengganggunya sambil menonton, berarti orang itu mengalami perasaan yang lebih daripada perasaan biasa. Seorang penonton bisa menguatkan pikirannya dan kebatinannya melalui menonton wayang kulit.
Konsentrasi dan Pengejawantahan
Prosesnya pembelajaran wayang , menurut saya, bisa dilihat sebagai proses pengalusan kepribadian yang mengakibatkan perkembangan daya dalam seorang dalang. Yaitu, daya dari konsentrasi yang tinggi. Untuk mendalami pewayangan, konsentrasi sangat diperlukan. Melalui proses pembelajaran pedalangan yang sangat panjang, calon dalang melatih diri supaya bisa mencapai konsentrasi yang mutlak. Yaitu, seorang dalang melatih dirinya sehingga bisa mengheningkan pikirannya dan sungguh-sungguh memfokuskan pada wayang. Ini terkait dengan konsepnya ‘cipta’. Cipta bisa diberi definisi: menyebabkan sesuatu muncul dengan memusatkan pikiran padanya. Dalang dengan konsentrasi tinggi dan pengertian yang dalam, mengenai sejarah dan sifat wayangnya, menciptakan dan menghidupkan wayang.
Proses pedalangan, baru-baru ini digambarkan oleh Sara Weiss (2003) sebagai pengejawantahan. Dalam pedalangan, pengejawantahan itu bermaksud wayang dan dalang tidak dapat dipisahkan. Demikian, dalang menghidupkan wayang, tetapi kembali wayangnya merupakan sumber gerak dan suara dalang itu. Dalam proses itu, dalangnya diisi oleh jiwa wayang, mengejewantahkan wayang dan menjadi wayang. Proses itu tidak menunjukkan dalang itu menguasai wayang tetapi menyampaikan sifat-sifat yang dalam wayang itu, yaitu jiwa wayang. Sehingga bisa dikatakan prosesnya menghidupkan wayang adalah proses menjiwai wayang. Waktu saya bertanya pada Pak Margiana ‘bagaimana seorang dalang menjiwai wayang’, beliau menjelaskan bahwa dalangnya
“harus dilepaskan diri dari semua pikiran supaya semua perhatiannya
memfokuskan pada tokoh-tokoh wayang” (Wawancara 19 October 2004).
Sebagai contoh lagi, selama saya sendiri belajar pedalangan, kalau ada kesulitan, Pak Udreka akan berkata, “belum sampai”, atau “belum masuk”. Itu bermaksud isinya atau artinya wayang belum saya rasakan.
Dalam pedalangan, yang penting adalah proses-prosesnya di belakang gerakan, suara dan bunyi. Seorang dalang menghidupkan wayang melalui prosesnya merasakan intisarinya, yaitu pengejawantahan.
Hubungan antara tubuh dan pikiran
Prosesnya keheningan berkaitan dengan penguasan tubuh, lebih tegasnya pancaindera. Yaitu, ucapan, pengelihatan, pencium, pendengaran dan indera peraba. Menurut Pak Udreka segala pancaindera itu harus ditahan,
“maka kita bisa berkonsentrasi pada hal-hal yang selalu berjalan dalam kebaikan. Dari perjalanan kita menuju ke kekaibakan itu apabila nanti akan mencapai suatu kesempurnaan” (Wawancara 22 November 2004).
Prosesnya pengembangan konsentrasi dan pengejawantahan merupakan kemampuan atau kekuatan menujukan semua tenaga seseorang dalam satu kegiatan supaya tidak ada apapun yang bisa mengganggu. Oleh karena itu, dalang-dalang biasanya nampak mempunyai semacam kekuatan yang tidak terlihat. Adalah konsep aura atau‘prabhawa’ dalam bahasa Jawa, yang sangat terkait dengan kekuatan itu.
Prabhawa
Apa itu prabhawa? Perkataan itu berasal dari bahasa Sanskrit. Dalam satu Kamus Jawa Kuna, perkataan itu dijelaskan begini,
“1. Kekuatan, tenaga, daya kekuatan yang luar biasa, kekuatan yang gaib; 2.
Cahaya yang memancar dari seseorang yang mempunyai tenaga luar biasa atau
kekuatan gaib; 3. Kekuatan ini menyatakan diri terutama pada kematian dalam
bentuk cahaya dan kejadian alam yang ajaib.” (Zoetmulder 1982).
Saya membicarakan artinya prabhawa itu dengan Pak Sunaryadi, Bu Mari, Pak Raharja dan Pak Subuh, menurut mereka, prabhawa itu adalah,
“kekuatan dalam seseorang yang mengakibatnya rasa hormat atau takut dari orang lain atau semacam kekuatan yang bisa mempengaruhi orang lain sehingga orang lain itu bisa tertarik, bisa taku, bisa simpatik dan sebagainya” (Wawancara 12 November 2004).
Kemudian muncul pertanyaan ini: Bagaimana seseorang bisa memiliki prabhawa itu? Yang jelas dari segala Jawaban yang diberi kepada saya, prabhawa itu bisa diperoleh dengan berbagai jalan. Pada umumnya, seseorang bisa berupaya mendapat prabhawa atau prabhawa itu bisa diperoleh merupakan suatu keajaiban. Seorang dalang untuk mendapatkan prabhawa itu bisa dengan laku prihatin misalnya, bertapa atau berpuasa. Itu juga sangat terkait dengan etika Jawa. Misalnya, selalu berperilaku sopan santun pada orang lain, selalu merendahkan diri terhadap orang lain. Jadi, dengan perilaku begitu akan mendapat suatu prabhawa.
Prabhawa yang diperoleh dengan suatu keajaiban, itu berarti anugerah dari Tuhan. Dan banyak kalangan dalang menyebutkan bahwa dalang itu mempunyai Wahyu, yaitu keistimewaan yang datang dari Tuhan. Menurut Pak Udreka, ini alasanya mengapa ada dalang yang diakui oleh masyarat sebaliknya dalang lain mungkin tidak disukai oleh masyrakat; dengan kata Pak Udreka ,
“Banyak dalang berpotensi yang bobot yang bagus tapi mungkin karena dia itu belum mendapat Wahyu, itu mungkin sedikit akan tidak begitu dipercayai atau diterima oleh masyarakat. Tapi ada dalang yang kemampuan wajar-wajar saja tapi karena dia mendapat suatu wahyu, masyarakat mengakuinya” (Wawancara 22
November 2004).
Bertapa
Dalang-dalang, lebih sering di waktu yang lalu, mencari ilmu gaib (ngelmu) yang bisa menjadi kunci keberhasilannya, dan yang terlepas dari keterampilan dalam keahlian. Ilmu itu melalui mempersiapkan diri dengan menjalankan tapa. Latihan bertapa meliputi segala macam tindakan yang ditujukan untuk mengembangkan kekuatan batin dalang serta ketabahannya. Latihan bertapa berupa macam-macam, termasuk bermacam-macam puasa dan samedi bermacam. Waktu saya bertanya pada Pak Udreka, bagaimana bertapa mendapatkan kekuatan batin, dia menjawab
“dalam bertapa kita selalu bisa mengekang hawa nafsu, jadi bisa menahan diri. Apa yang timbul dari ucapan, pengelihatan, dari hidung, dari telinga, perasaan, selalu kita akan menahan diri. Dengan kita bisa menahan diri seperti itu maka bisa berkonsentrasi pada hal-hal yang selalu berjalan dalam kebaikan. Dari perjalanan kita menuju ke kebaikan itu apabila nanti akan mencapai suatu kesempurnaan dalam suatu kebaikan maka Tuhan akan mengasihi akan memberikan suatu anugerah pada kita” (Wawancara 22 October 2004).
Inilah sangat penting untuk kalangan dalang karena pada awalnya seorang dalang itu menceritakan tentang kebaikan yang ada did dalam pewayangan. Sehingga dalam pewayangan itu akan bisa perbobot akan bisa berisi, bermakna.
Keprihatinan mengenai kehilangan tradisi lisan dalam pedalangan
Seringkali, ketika saya membicarakan prosesnya pembelajaran pedalangan dengan dalang-dalang atau pembuat wayang atau pengrawit, ada pendapat mengatakan bahwa dalang dari tempo dulu bisa mempertunjukkan tanpa berlatih sedangkan calon dalang pada dewasa ini perlu berlatih dan catatan. Misalnya, dulu, seorang sponsor akan mengundang dalang dan dalangnya harus bisa mewayangkan lakon apapun yang dimintai langsung tanpa mengetahui sebelumnya. Pada umumnya, dalam pembicaraan saya dengan kalangan dalang, sebagian besar dalang menganggap dalang-dalang dari‘tempo yang lalu’ sebagai memiliki ketrampilan dan pengetahuan yang lebih lengkap, spontan dan kuasa daripada dalang-dalang sekarang. Banyak dalang yang saya wawancarai, khawatir akan kreativitas pedalangan dan penafsiran individual semakin hilang. Unsur spontan masih dianggap penting tetapi lebih jarang. Kian lama dalang kian tergantung pada buku pelajaran dan tidak lagi bisa mempertunjukkan langsung dari hatinya. Salah satu alasannya untuk ini mungkin karena wayang kulit tidak lagi di pusat masyarakat Jawa tetapi sudah di pinggirannya. Mungkin karena wayang kulit harus bersaing dengan banyak unsur moderen, seperti televisi dan media lain, dalang sekarang tidak hanya harus belajar ilmu pewayangan tetapi juga memperhatikan bagaimana wayang kulit bisa dilestarikan. Pelestarian tersebut terkait dengan permasalahan kekurangan dana yang sangat berpengaruh karena suatu pergelaran wayang memerlukan banyak orang dan pengelolan dengan harga yang mahal sekali. Banyak dalang juga menyampaikan keprihatinan tentang pengetahuan dan ketrampilan dalang telah tidak dihargai oleh pemerintah dan masyarakat karena kepentingan ritual dan agama digantikan oleh nilai uang. Sangat sulit untuk menghargai pengetahuan dan gaya pedalangan yang tradisional menurut sistem ekonomi yang moderen.
Kata Penutup
Kalau kita melihat situasi pendidikan dan peran dalang pada dewasa ini, perubahan itu berjalan seiring dengan perkembangan masyarakat yang ditandai oleh semakin majunya rasionalisasi pola pikir masyarakat, yang menggeser pandangan hidup Jawa tradisional. Isinya jurusan pedalangan dalam sekolah dan universitas menggeser peran dalang yang tradisional, yaitu terkait dengan ritual, dan berkembang kepada peranan sebagai seniman kritis dalam masyarakat modern duniawi.
Van Groenendael memperhatikan peran tradisional dalang menulis,
“Dalam masyrakat Jawa tradisional yang bercirikan satunya tertib masyrakat
dengan tertib semesta, sangat pentinglah peranan sosio-religius dalang. Yaitu,
perananya sebagai penghubung antara manusia dan kekuatan-kekuatan tidak
menampak yang mengelilingi dan mempengaruhinya” (1987: 300).
Tekanan pendidikan bagi dalang adalah untuk melatih diri supaya bisa menjiwai wayang dan menguasai dan mempergunakan kekuatan-kekuatan yang tidak menampak itu, misalnya roh nenek moyang, baik demi kepentingan pribadi maupun masyrakat pada umumnya. Walaupun demikian, tidak ada pendidikan dalam arti memperlengkapi diri secara sistematis dengan ilmu gaib yang sant penting itu. Calon dalang, kalau dibesarkan dalam keluarga dalang atau melalui nyantrik, mempelajari segala seluk-beluknya dengan melihat dan meniru orang-orang tua, saudaranya, niyaga dan orang lain berhubungan dengan wayang k ulit. Untuk itu calon dalang mengikuti dalam pergelaran-pergelaran.
Juga kita bisa melihat bahwa proses pembelajaran pedalangan sangat terkait dengan etika Jawa. Misalnya, prosesnya nyantrik didasarkan pada hormat pada orang tua, dan wahyu dan prabhawa bisa didapat oleh orang yang berlaku prihatin menurut etika Jawa. Di samping pengetahuan keterampilan praktis yang diperlukan, calon dalang juga diharapkan menjalani keprihatinan hidup sebagaimana yang telah ditentukan. Misalnya menjalankan laku prihatin tertentu dengan cara berpuasa, berpantang makanan tertentu, dan mungkin semadi. Semua tindakan itu dimaksud untuk memperkuat tenaga batin mereka, dan merupakan syarat mutlak dalam memasuki dunia ilmu gaib. Seperti dikatakan oleh satu guru Pak Udreka, Pak Margiana,
“ada persyaratan dari tempo lalu yang tidak bisa ditawarkan lagi, misalnya, tidak
sembarang orang bisa mendalang lakon tertentu atau dalam pembuatan wayang,
tidak sembarang bisa menata tokoh tertentu” (Wawancara 19 October 2004).
Pada dasarnya, secalon dalang belajar supaya memperoleh konsentrasi mutlak. Melalui proses yang mencerminkan filsafat Jawa pada umumnya, seorang dalang menahan diri untuk perkembangan kekuatan batin. Juga sangat penting untuk seorang dalang muda belajar supaya mengerti hubungan-hubungan tertentu, termasuk antara dalang, penonton dan sponsor. Pergelaran wayang kulit merupakan peristiwa sosial bersifat tergantung pada bermacam-macam kepentingan. Keberhasilan dalangnya mencari jiwa wayang sangat tergantung pada pengakuan sponsor dan penonton. Hanya ketika dalang menyampaikan rasa, maksudnya jiwa wayang telah ditemukan.
Bibliografi
Artikel dan Buku
Benamou, Marc, 1998, Rasa In Javanese Musical Aesthetics, Disertasi Doctor, Universitas Michigan.
Becker, Alton, 1979, “Text Building, Epistemology, and Aesthetics in Javanese Shadow Theater”, dalam Alton Becker and A. A. Yengoyan, The Imagination of Reality: Essays in Southeast Asian Coherence Systems, Norwood, Ablex Publishing Corporation.
Brandon, James, 1970, On Thrones of Gold, Cambridge, Harvard University Press.
Clark, Marshall, 2001, “Shadow Boxing: Indonesian Writers and the Ramayana in the New Order”, dalam Indonesia, nomor 71, halaman 159-187.
Keeler, Ward, 1987, Javanese Shadow Plays, Javanese Selves, Gramedia Pustaka Utama. Judul asli: 1981, R Oldenbourg Verlag Munchen/Wien.
Keeler, Ward, 1991, “Puppet Theatre of the Javanese” dalam Puppetry, New York, The Festival of Indonesia Foundation.
Holt, Claire, 1967, “The Wayang World”, dalam Art in Indonesia: Continuities and Change, Ithaca, Cornell University Press.
Magnis Suseno, Franz, 2001, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta, Gramedia. Edisi Jerman Asli, Munich, 1981.
McVey, Ruth, 1990, “The Wayang Controversy in Indonesian Communism”, dalam R Taylor (redaktor), Meaning and Power in Southeast Asia, New York, SEAP Publications, Cornell University.
Sears, Laurie, 1996, Shadows of Empire, Durham and London, Duke University Press.
Van Groenendael, Victoria M Clara, 1987, Dalang Di Balik Wayang, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti. Judal asli: 1985, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land –en Volkenkunde, Leiden.
Weiss, Sarah, 2003, “Kothong Nanging Kebak- Empty yet Full: Some Thoughts on Embodiment and Aesthetics in Javanese Performance”, dalam Asian Music, Ithaca, nomor 34, hal 21-29.
Zoetmulder, P T, 1982, Kamus Jawa Kuna-Indonesia, Jakarta, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Wawancara
Pak Udreka:
– 20 October 2004
– 14 November 2004
– 22 November 2004
Pak Sunaryadi, Pak Subuh, Bu Mari, Pak Raharja:
– 12 November 2004
Nur:
– 14 November 2004
Pak Margiana:
-19 October 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar