“Pseudo-metaphor” Srikandi
Setiap peradaban memiliki sistem konversasinya sendiri. Seperti ujar
Neil Postman (1995), cara yang dipakai dalam satu sistem konversasi
(perbincangan) akan sangat menentukan gagasan (ide) macam apa yang akan
kita temukan. Kata konversasi di sini bersifat metaforis, untuk tidak
menunjukkan hanya pada percakapan namun juga pada segala bentuk teknik
dan teknologi yang memungkinkan umat manusia dari satu peradaban
tertentu melakukan pertukaran pesan. Dalam pengertian ini, semua
kebudayaan, nilai, dan pandangan adalah satu konversasi, atau kumpulan
dari banyak konversasi yang diadakan dari pelbagai cara simbolis. Yakni,
bagaimana bentuk perbincangan publik mengatur, bahkan mendikte
substansi semacam apa yang dapat dilayangkan melalui bentuk-bentuk
tersebut.
Jika pada peradaban kapitalisme lanjut (baca: postmodernis) ini media
massa (terutama televisi) adalah sistem konversasi utama, maka bagi
masyarakat Jawa, wayang purwa adalah sistem konversasi yang tak kalah
penting. Sebagai media komunikasi tradisional, wayang purwa adalah medan
konversasi yang memungkinkan masyarakat Jawa saling mempertukarkan
pesan dengan berbagai cara simbolis.
Sebagaimana karakter media komunikasi massa kontemporer, berbagai
sistem nilai dan sistem ideologi dikonstruksi, direkonstruksi, dan
didistribusi melalui berbagai cerita lakon. Dalam batas-batas tertentu,
wayang bagi masyarakat Jawa adalah agama kedua yang memberi banyak
ajaran, tuntunan, dan tatanan nilai kultural, entah melalui representasi
jalan cerita atau citra para tokoh. Mulai dari nilai hidup dan
kehidupan, hubungan antarsesama, hubungan dengan yang Esa, kepemimpinan,
kepahlawanan, nilai baik buruk, bahkan nilai dan citra tentang
perempuan yang tentu saja amat membantu cara pandang khalayak dalam
memahami makna dari realitas perempuan.
Seperti halnya media komunikasi massa kontemporer memberikan gambaran
sub-ordinat tentang perempuan melalui berbagai iklan, sinetron,
telenovela dan berita, wayang purwa pun memberikan gambaran serupa baik
melalui berbagai lakon cerita dan terutama melalui representasi
tokoh-tokohnya. Beberapa representasi terhadap tokoh perempuan penting
dalam wayang, menunjukkan gambaran perempuan adalah subordinat
laki-laki.
***
Drupadi yang digambarkan sebagai perempuan utama, nasibnya tak lebih
dari sebuah barang. Ia dipertaruhkan suaminya Yudhistira, dalam
perhelatan judi dadu dengan trah Kurawa yang dipimpin Duryudana.
Subadra, istri pertama Arjuna adalah perempuan yang lemah lembut, setia,
penuh pengertian terhadap suaminya, meskipun suaminya lebih banyak
mengembara daripada berkumpul dengannya, meskipun suaminya kawin lagi
hingga puluhan kali tanpa seizinnya. Bahkan, Subadra digambarkan sebagai
perempuan utama karena menerima Srikandi dan Larasati (madunya) dalam
satu atap. Banowati, istri Duryudana Raja Astina, meski mampu melayani
suami dengan baik hingga tak menikah lagi, namun selalu menunggu
kesempatan bertemu dengan Arjuna kekasih lamanya untuk berselingkuh.
Puncak status tertinggi perempuan dalam wayang purwa adalah bidadari
atau dewi kahyangan, namun nasibnya tak lebih baik dari tokoh wayang
perempuan di dunia. Dewi Uma istri Bethara Guru, raja kahyangan, dikutuk
menjadi raksasa dan berperangai buruk hanya karena menolak melayani
syahwat suaminya di atas lembu Andini. Meski kemudian ia mendapat
kekuasaan puncak di Pasetran Gandamayit, Dewi Uma yang kemudian berjuluk
Durga selalu digambarkan sebagai biang kerok keburukan dan keonaran
yang mesti dibasmi.
Bidadari-bidadari lain bahkan hanya menjadi barang undian,
dihadiahkan kepada laki-laki yang dianggap berjasa bagi para dewa. Resi
Bagaspati, Resi Gautama, Prabu Sentanu, Sugriwa, dan Subali, adalah
beberapa wayang laki-laki yang mendapatkan hadiah bidadari karena
jasanya tanpa bidari itu dimintai persetujuan, meskipun Sugriwa dan
Subali adalah seekor kera, dan Resi Bagaspati berwujud Raksasa. Lebih
dari itu, puluhan bidadari telah dihadiahkan kepada Arjuna, juga tanpa
persetujuan yang menjalani, meskipun Arjuna telah memiliki puluhan
istri.
Wayang perempuan yang paling kita kenal adalah Srikandi. Namanya
sering kita jadikan simbol menjuluki banyak perempuan berprestasi di
bidangnya. Ada Srikandi bulu tangkis, Srikandi birokrasi, pengusaha, dan
banyak lagi untuk memberi penghargaan atas jasa-jasanya kepada
masyarakat atau negara. Dalam gambaran kita, Srikandi kemudian menjadi
simbol keberartian perempuan di tengah masyarakat. Simbol kepahlawanan
dan simbol persamaan antara perempuan dan laki-laki karena prestasi dan
kegesitannya. Meski sesungguhnya kesemua simbolisasi itu hanyalah semu.
Dalam wayang purwa Srikandi adalah satu-satunya perempuan yang diberi
hak terjun dalam perang Barathayuda. Sekali ia berperang, sekali itu
pula ia mampu menjungkalkan Bisma pahlawan perang Kurawa yang satu
prajurit pun dari kubu Pandawa tak sanggup mengalahkannya. Srikandi
adalah pembuka jalan bagi kemenangan Pandawa atas Kurawa. Untuk itu, ia
dinobatkan sebagai perempuan utama. Namun, apa yang luput dari pandangan
kita selama ini adalah Srikandi hanyalah “alat”, bukan pelaku utama
kisah kepahlawanan itu.
Bukan Srikandi-lah sesungguhnya pembunuh Bisma, melainkan Amba, gadis
yang ditolak cintanya oleh Bisma sewaktu muda. Dalam kematiannya, Amba
menyimpan dendam untuk ganti membunuh Bisma agar bisa pergi ke surga
bersama-sama karena tidak bisa bersama di dunia. Dan kesempatan itu baru
datang saat Barathayuda. Ia menyusup ke tubuh Srikandi yang tengah
melepaskan anak panah ke dada Bisma. Mengetahui yang merasuki Srikandi
adalah Amba, Bisma membiarkan dadanya dihujani anak panah Srikandi
sebagai upaya penebusan dosa dia pada Amba.
Srikandi melakukan aksi kepahlawanan itu bukan karena kemampuannya
sendiri. Bahkan, ia hanya menjadi alat dari sebuah dendam, namun kita
memuja dan menempatkannya dalam simbolisasi yang penting. Kita bahkan
tak peduli Srikandi telah melukai hati Subadra, istri pertama Arjuna
ketika ia mau diperistri Arjuna. Bahkan, kemudian ia juga rela dimadu
berulangkali oleh suaminya hanya karena tak bisa memberikan anak.
Srikandi sesungguhnya adalah pseudo-metaphor, gambaran semu bagi upaya
menghibur ketertindasan perempuan di berbagai bidang. Seperti Orde Baru
(Orba) menghibur perempuan dengan Dharma Wanita, seperti syariat agama
menghibur perempuan dengan “surga di bawah telapak kaki ibu”, seperti
kapitalisme menghibur perempuan dengan gelar ratu kecantikan.
***
Wayang purwa sebagai sistem konversasi peradaban Jawa yang utama
telah mendistribusi citra perempuan sedemikian rupa. Dan semua itu
didistribusi juga dengan cara memikat melalui lakon cerita yang membetot
imaji. Belum lagi bila kita membincangkan pentas pergelarannya. Semua
tokoh penting wayang laki-laki yang beristri lebih dari satu, kecuali
Yudhistira dan Duryudana. Sikap terhadap sinden-sindennya (penyanyi
perempuan dalam pentas wayang). Konstruksi wayang purwa adalah
konstruksi nilai dan citra perempuan yang subordinat.
Reinterpretasi dan modifikasi terhadap pergelaran wayang memang telah
banyak dilakukan oleh dalang-dalang masa kini. Ada beberapa dalang yang
melakukan reinterpretasi dan modifikasi terhadap pergelaran wayang
kulit. Namun, berbagai reinterpretasi dan modifikasi belum menyentuh
pada pembangunan citra perempuan bagi upaya kesetaraan jender.
Kebanyakan dalang memodifikasi tampilan dan jalan cerita, yang banyak
melanggar pakem semata-mata atas pertimbangan popularitas, tuntutan
zaman, dan keterhiburan khalayak, dan sama sekali belum menyentuh
reinterpretasi terhadap berbagai sistem nilai dan ideologi wayang purwa
yang patriarkis dan feodal.
Mochtar W Oetomo Pengajar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dr Soetomo, Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar