Sabtu, 06 September 2014

Gambaran Perempuan Dalam Wayang Purwa

“Pseudo-metaphor” Srikandi
Setiap peradaban memiliki sistem konversasinya sendiri. Seperti ujar Neil Postman (1995), cara yang dipakai dalam satu sistem konversasi (perbincangan) akan sangat menentukan gagasan (ide) macam apa yang akan kita temukan. Kata konversasi di sini bersifat metaforis, untuk tidak menunjukkan hanya pada percakapan namun juga pada segala bentuk teknik dan teknologi yang memungkinkan umat manusia dari satu peradaban tertentu melakukan pertukaran pesan. Dalam pengertian ini, semua kebudayaan, nilai, dan pandangan adalah satu konversasi, atau kumpulan dari banyak konversasi yang diadakan dari pelbagai cara simbolis. Yakni, bagaimana bentuk perbincangan publik mengatur, bahkan mendikte substansi semacam apa yang dapat dilayangkan melalui bentuk-bentuk tersebut.
Jika pada peradaban kapitalisme lanjut (baca: postmodernis) ini media massa (terutama televisi) adalah sistem konversasi utama, maka bagi masyarakat Jawa, wayang purwa adalah sistem konversasi yang tak kalah penting. Sebagai media komunikasi tradisional, wayang purwa adalah medan konversasi yang memungkinkan masyarakat Jawa saling mempertukarkan pesan dengan berbagai cara simbolis.
Sebagaimana karakter media komunikasi massa kontemporer, berbagai sistem nilai dan sistem ideologi dikonstruksi, direkonstruksi, dan didistribusi melalui berbagai cerita lakon. Dalam batas-batas tertentu, wayang bagi masyarakat Jawa adalah agama kedua yang memberi banyak ajaran, tuntunan, dan tatanan nilai kultural, entah melalui representasi jalan cerita atau citra para tokoh. Mulai dari nilai hidup dan kehidupan, hubungan antarsesama, hubungan dengan yang Esa, kepemimpinan, kepahlawanan, nilai baik buruk, bahkan nilai dan citra tentang perempuan yang tentu saja amat membantu cara pandang khalayak dalam memahami makna dari realitas perempuan.
Seperti halnya media komunikasi massa kontemporer memberikan gambaran sub-ordinat tentang perempuan melalui berbagai iklan, sinetron, telenovela dan berita, wayang purwa pun memberikan gambaran serupa baik melalui berbagai lakon cerita dan terutama melalui representasi tokoh-tokohnya. Beberapa representasi terhadap tokoh perempuan penting dalam wayang, menunjukkan gambaran perempuan adalah subordinat laki-laki.
***
Drupadi yang digambarkan sebagai perempuan utama, nasibnya tak lebih dari sebuah barang. Ia dipertaruhkan suaminya Yudhistira, dalam perhelatan judi dadu dengan trah Kurawa yang dipimpin Duryudana. Subadra, istri pertama Arjuna adalah perempuan yang lemah lembut, setia, penuh pengertian terhadap suaminya, meskipun suaminya lebih banyak mengembara daripada berkumpul dengannya, meskipun suaminya kawin lagi hingga puluhan kali tanpa seizinnya. Bahkan, Subadra digambarkan sebagai perempuan utama karena menerima Srikandi dan Larasati (madunya) dalam satu atap. Banowati, istri Duryudana Raja Astina, meski mampu melayani suami dengan baik hingga tak menikah lagi, namun selalu menunggu kesempatan bertemu dengan Arjuna kekasih lamanya untuk berselingkuh.
Puncak status tertinggi perempuan dalam wayang purwa adalah bidadari atau dewi kahyangan, namun nasibnya tak lebih baik dari tokoh wayang perempuan di dunia. Dewi Uma istri Bethara Guru, raja kahyangan, dikutuk menjadi raksasa dan berperangai buruk hanya karena menolak melayani syahwat suaminya di atas lembu Andini. Meski kemudian ia mendapat kekuasaan puncak di Pasetran Gandamayit, Dewi Uma yang kemudian berjuluk Durga selalu digambarkan sebagai biang kerok keburukan dan keonaran yang mesti dibasmi.
Bidadari-bidadari lain bahkan hanya menjadi barang undian, dihadiahkan kepada laki-laki yang dianggap berjasa bagi para dewa. Resi Bagaspati, Resi Gautama, Prabu Sentanu, Sugriwa, dan Subali, adalah beberapa wayang laki-laki yang mendapatkan hadiah bidadari karena jasanya tanpa bidari itu dimintai persetujuan, meskipun Sugriwa dan Subali adalah seekor kera, dan Resi Bagaspati berwujud Raksasa. Lebih dari itu, puluhan bidadari telah dihadiahkan kepada Arjuna, juga tanpa persetujuan yang menjalani, meskipun Arjuna telah memiliki puluhan istri.
Wayang perempuan yang paling kita kenal adalah Srikandi. Namanya sering kita jadikan simbol menjuluki banyak perempuan berprestasi di bidangnya. Ada Srikandi bulu tangkis, Srikandi birokrasi, pengusaha, dan banyak lagi untuk memberi penghargaan atas jasa-jasanya kepada masyarakat atau negara. Dalam gambaran kita, Srikandi kemudian menjadi simbol keberartian perempuan di tengah masyarakat. Simbol kepahlawanan dan simbol persamaan antara perempuan dan laki-laki karena prestasi dan kegesitannya. Meski sesungguhnya kesemua simbolisasi itu hanyalah semu.
Dalam wayang purwa Srikandi adalah satu-satunya perempuan yang diberi hak terjun dalam perang Barathayuda. Sekali ia berperang, sekali itu pula ia mampu menjungkalkan Bisma pahlawan perang Kurawa yang satu prajurit pun dari kubu Pandawa tak sanggup mengalahkannya. Srikandi adalah pembuka jalan bagi kemenangan Pandawa atas Kurawa. Untuk itu, ia dinobatkan sebagai perempuan utama. Namun, apa yang luput dari pandangan kita selama ini adalah Srikandi hanyalah “alat”, bukan pelaku utama kisah kepahlawanan itu.
Bukan Srikandi-lah sesungguhnya pembunuh Bisma, melainkan Amba, gadis yang ditolak cintanya oleh Bisma sewaktu muda. Dalam kematiannya, Amba menyimpan dendam untuk ganti membunuh Bisma agar bisa pergi ke surga bersama-sama karena tidak bisa bersama di dunia. Dan kesempatan itu baru datang saat Barathayuda. Ia menyusup ke tubuh Srikandi yang tengah melepaskan anak panah ke dada Bisma. Mengetahui yang merasuki Srikandi adalah Amba, Bisma membiarkan dadanya dihujani anak panah Srikandi sebagai upaya penebusan dosa dia pada Amba.
Srikandi melakukan aksi kepahlawanan itu bukan karena kemampuannya sendiri. Bahkan, ia hanya menjadi alat dari sebuah dendam, namun kita memuja dan menempatkannya dalam simbolisasi yang penting. Kita bahkan tak peduli Srikandi telah melukai hati Subadra, istri pertama Arjuna ketika ia mau diperistri Arjuna. Bahkan, kemudian ia juga rela dimadu berulangkali oleh suaminya hanya karena tak bisa memberikan anak. Srikandi sesungguhnya adalah pseudo-metaphor, gambaran semu bagi upaya menghibur ketertindasan perempuan di berbagai bidang. Seperti Orde Baru (Orba) menghibur perempuan dengan Dharma Wanita, seperti syariat agama menghibur perempuan dengan “surga di bawah telapak kaki ibu”, seperti kapitalisme menghibur perempuan dengan gelar ratu kecantikan.
***
Wayang purwa sebagai sistem konversasi peradaban Jawa yang utama telah mendistribusi citra perempuan sedemikian rupa. Dan semua itu didistribusi juga dengan cara memikat melalui lakon cerita yang membetot imaji. Belum lagi bila kita membincangkan pentas pergelarannya. Semua tokoh penting wayang laki-laki yang beristri lebih dari satu, kecuali Yudhistira dan Duryudana. Sikap terhadap sinden-sindennya (penyanyi perempuan dalam pentas wayang). Konstruksi wayang purwa adalah konstruksi nilai dan citra perempuan yang subordinat.
Reinterpretasi dan modifikasi terhadap pergelaran wayang memang telah banyak dilakukan oleh dalang-dalang masa kini. Ada beberapa dalang yang melakukan reinterpretasi dan modifikasi terhadap pergelaran wayang kulit. Namun, berbagai reinterpretasi dan modifikasi belum menyentuh pada pembangunan citra perempuan bagi upaya kesetaraan jender. Kebanyakan dalang memodifikasi tampilan dan jalan cerita, yang banyak melanggar pakem semata-mata atas pertimbangan popularitas, tuntutan zaman, dan keterhiburan khalayak, dan sama sekali belum menyentuh reinterpretasi terhadap berbagai sistem nilai dan ideologi wayang purwa yang patriarkis dan feodal.
Mochtar W Oetomo Pengajar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dr Soetomo, Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar