Rabu, 17 September 2014

Jagal Abilawa: Kisah matinya Rajamala


Raden Utara dan Wratsangka meminta jago kepada Prabu Amarta
Prabu Mangsahpati memanggil Raden Utara dan Wratsangka, menanyakan mengapa Patih Kencaka dan Rupapenca tidak datang menghadap dirinya. Raden Utara menjawab:”Paman Patih tidak datang sebab sedang mengadakan pertandingan adu jago, jagonya ialah Paman Rajamala. Saya sudah berkali-kali ikut bertarung, tetapi kalah terus. Saya keroyok sepuluh orang, Rajamala masih tetap segar. Sudah banyak uang yang habis dalam adu jago ini.”
Prabu Mangsahpati mengatakan,”Kamu keroyok dengan 100 orang pun si Rajamala tidak akan kalah karena mereka itu bukan tandingannya. Coba tanyakan Wijakangka di Ketandan, apakah dia mempunyai jago yang baik.” Raden Utaka lalu menyembah dan berangkat ke Ketandan bersama Wratsangka.
Setelah bertemu Wijakangka, mereka mengutarakan maksudnya. Wijakangka sanggup mencarikan jago untuk melawan Rajamala yaitu si Jagal Abilawa. Mereka bertiga segera menuju Pejagalan mencari Jagal Abilawa tetapi saat bisa bertemu Jagal Abilawa sedang tidur. Mereka mencoba membangunkan Jagal Abilawa tetapi tidak bergeming. Akhirnya bulu jari kakinya dicabut sehingga membuat Abilawa bangun dan marah-marah dan hendak menangkap Wijajangka dan ingin membantingnya namun setelah Wijajangka mengingatkannya bahwa ia adalah kakaknya, Abilawa mereda marahnya.
Raden Utara lalu menerangkan maksud kedatangan mereka bertiga meminta Abilawa mau menjadi jago melawan Rajamala. Abilawa sanggup kemudian mereka pergi ke Kepatihan untuk bertarung dengan Rajamala. Pertandingan berlangsung cepat Rajamala dapat dibunuh dengan Kukupancanaka, namun setelah Rajamala dimasukkan ke dalam dia segar kembali. Demikian berturut-turut hingga Abilawa kehabisan tenaga.

Mbok Werdiningsih pergi ke pasar
Kendi Wratnala (Harjuna) melihat pertarungan tersebut, dia mengira kalau kakaknya Abilawa tidak akan menang melawan Rajamala. Lalu dia teringat dengan panah Bramastra pemberian Dewa Brama. Segera dia menyuruh punakawan untuk memasukkan panah tersebut di tempat Rajamala dimandikan , tetapi kolam tersebut ternyata dijaga sangat ketat oleh prajurit. Punakawan mencari akal, mereka  menjadi penjual nasi, para prajurit yang berjaga merasa lapar, lalu membeli nasi para punakawan tersebut. Lurah Semar mengatakan kepada prajurit mau minum di kolam tersebut, dia diizinkan. Dengan diam-diam dia memasukkan panah Bramastra ke dalam kolam.
Dalam pertempuran, Abilawa melawan Rajamala akhirnya Rajamala mati lagi. Segera dia dimasukkan ke dalam kolam, tetapi kali ini dia tidak bangkit lagi bahkan badannya menjadi kaku kemudian hancur. Kencaka melihat hal tersebut sangat marah lalu menangkap prajurit penjaga kolam dan segera menyerang Jagal Abilawa. Kemudian terjadi perang antara Jagal Abilawa dengan Kencaka, tetapi Wijajangka memanggil adiknya dari jauh supaya segera lari karena Patih itu ibaratnya raja. Segera Abilawa lari masuk kedalam pasar berbaur dengan orang banyak lalu menghilang. Patih Kencaka menyuruh semua orang yang berada di pasar untuk duduk dan berjongkok tetapi ada satu orang yang tidak mau duduk lalu dia dipanggil ternyata dia bernama Mbok Werdiningsih sebagai utusan dari Dewi Utari, putri Kedaton.
Ia minta izin pulang cepat karena sudah ditunggu oleh Dewi Utari. Patih Kencaka rupanya terpesona dengan Mbok Werdiningsih dia lalu melupakan Jagal Abilawa. Setelah pencarian selesai, dia lalu pulang dan membuat surat kepada Dewi Utari untuk meminta Mbok Werdiningsih. Dewi Utari sudah mengizinkan lalu menyuruh Mbok Werdiningsih untuk datang ke Kepatihan menemui Patih Kencaka sambil membawa buah tangan berupa seperangkat baju buatan Dewi Utari. Mbok Werdiningsih masuk ke dalam kepatihan lalu dia dikunci dari dalam sehingga tidak bisa keluar. Mbok Werdiningsih ketakutan lalu datang Patih Kencaka yang akan memegangnya, tetapi Mbok Werdiningsih akhirnya lari ke Ketandan meminta perlindungan kepada Wijakangka. Oleh Wijajangka, Mbok Werdiningsih disuruh berlindung kepada Jagal Abilawa di Pejagalan.
Tidak lama kemudian, Patih Kencaka datang ke Ketandan dan mengobrak-abrik tempat tersebut mencari Mbok Werdiningsih, dia sangat marah karena tidak menemukannya. Oleh Wijajangka, dia diberi tahu bahwa Mbok Werdiningsih lari ke Pejagalan. Patih Kencaka yang masih kesal tidak bisa menemukan Mbok Werdiningsih malah memerintahkan Wijajangka untuk melepas gelung kelingnya sebagai tanda raja dengan gelung tekuk tetapi Wijajangka tidak mau. Patih Kencaka marah lalu memotong gelung keling Wijajangka yang seketika itu pula membuat Wijajangka pingsan.
Setelah siuman dia meminta maaf dan segera mengejar Mbok Werdiningsih ke Pejagalan. Sesampainya di Pejagalan dia bertemu dengan Jagal Abilawa. Terjadi perang mulut dan berlanjut perang tanding. Akhirnya Patih Kencaka mati lalu jasadnya dibuang ke udara dan jatuh di hadapan Prabu Mangsahpati. Segera sang Prabu memanggil saudara Patih Kencaka yaitu Rupakenca membahas siapa yang telah membunuh Rajamala dan Kencaka. Kemudian diketahui bahwa hal tersebut disebabkan oleh Mbok Werdiningsih.

abilawa
Bratasena melawan Raden Rajamala
Kemudian Mbok Werdiningsih ditangkap dan dibawa ke alun-alun untuk menjalani hukuman mati obong. Tetapi sebelum api menyentuh Mbok Werdiningsih, Batara Narada turun mengambilnya. Jagal Abilawa yang mendengar tentang hukuman Mbok Werdiningsih bela pati lalu menangkap Rupakenca yang sedang membopong mayat kakaknya, Kencaka lalu keduanya ditangkap oleh Jagal Abilawa dan dimasukkan ke dalam api yang menyala-nyala. Akhirnya Rupakenca tewas. Prajurit raksasa di Kepatihan tidak terima lalu menyerbu Jagal Abilawa. Terjadilah Perang Sampak. Namun  semua prajurit Kepatihan kalah.
Prabu Mangsahpati akhirnya mengumpulkan Utara dan Wretsangka untuk memanggil Wijajangka dan Jagal Abilawa karena dia tahu mereka itu masih cucu-cucunya. Kepada cucu-cucunya tersebut, Prabu Mangsahpati berkata,”Kemarilah, hai cucu-cucuku. Soal matinya Rajamala, Kencaka dan Rupakenca memang sudah menjadi kehendak Dewa. Sebab mereka tidak mempunyai tandingan dalam perang Bharatayuda nanti. Jadi sekarang mereka diambil oleh Jawata. Kamu, Wijajangka, saya beri hutan di Amarta. Jadikanlah itu sebuah kerajaan. Abilawa saya beri hutana di Ngagulpawenang dan Kendi Wratnala saya beri hutan di Madiganda. Kalian semua kembalilah memakaia namamu yang dulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar