Raden Utara dan Wratsangka meminta jago kepada Prabu Amarta
Prabu Mangsahpati memanggil Raden
Utara dan Wratsangka, menanyakan mengapa Patih Kencaka dan Rupapenca
tidak datang menghadap dirinya. Raden Utara menjawab:”Paman Patih tidak
datang sebab sedang mengadakan pertandingan adu jago, jagonya ialah
Paman Rajamala. Saya sudah berkali-kali ikut bertarung, tetapi kalah
terus. Saya keroyok sepuluh orang, Rajamala masih tetap segar. Sudah
banyak uang yang habis dalam adu jago ini.”
Prabu Mangsahpati mengatakan,”Kamu
keroyok dengan 100 orang pun si Rajamala tidak akan kalah karena mereka
itu bukan tandingannya. Coba tanyakan Wijakangka di Ketandan, apakah dia
mempunyai jago yang baik.” Raden Utaka lalu menyembah dan berangkat ke
Ketandan bersama Wratsangka.
Setelah bertemu Wijakangka, mereka
mengutarakan maksudnya. Wijakangka sanggup mencarikan jago untuk melawan
Rajamala yaitu si Jagal Abilawa. Mereka bertiga segera menuju Pejagalan
mencari Jagal Abilawa tetapi saat bisa bertemu Jagal Abilawa sedang
tidur. Mereka mencoba membangunkan Jagal Abilawa tetapi tidak bergeming.
Akhirnya bulu jari kakinya dicabut sehingga membuat Abilawa bangun dan
marah-marah dan hendak menangkap Wijajangka dan ingin membantingnya
namun setelah Wijajangka mengingatkannya bahwa ia adalah kakaknya,
Abilawa mereda marahnya.
Raden Utara lalu menerangkan maksud
kedatangan mereka bertiga meminta Abilawa mau menjadi jago melawan
Rajamala. Abilawa sanggup kemudian mereka pergi ke Kepatihan untuk
bertarung dengan Rajamala. Pertandingan berlangsung cepat Rajamala dapat
dibunuh dengan Kukupancanaka, namun setelah Rajamala dimasukkan ke
dalam dia segar kembali. Demikian berturut-turut hingga Abilawa
kehabisan tenaga.
Mbok Werdiningsih pergi ke pasar
Kendi Wratnala (Harjuna) melihat
pertarungan tersebut, dia mengira kalau kakaknya Abilawa tidak akan
menang melawan Rajamala. Lalu dia teringat dengan panah Bramastra
pemberian Dewa Brama. Segera dia menyuruh punakawan untuk memasukkan
panah tersebut di tempat Rajamala dimandikan , tetapi kolam tersebut
ternyata dijaga sangat ketat oleh prajurit. Punakawan mencari akal,
mereka menjadi penjual nasi, para prajurit yang berjaga merasa lapar,
lalu membeli nasi para punakawan tersebut. Lurah Semar mengatakan kepada
prajurit mau minum di kolam tersebut, dia diizinkan. Dengan diam-diam
dia memasukkan panah Bramastra ke dalam kolam.
Dalam pertempuran, Abilawa melawan
Rajamala akhirnya Rajamala mati lagi. Segera dia dimasukkan ke dalam
kolam, tetapi kali ini dia tidak bangkit lagi bahkan badannya menjadi
kaku kemudian hancur. Kencaka melihat hal tersebut sangat marah lalu
menangkap prajurit penjaga kolam dan segera menyerang Jagal Abilawa.
Kemudian terjadi perang antara Jagal Abilawa dengan Kencaka, tetapi
Wijajangka memanggil adiknya dari jauh supaya segera lari karena Patih
itu ibaratnya raja. Segera Abilawa lari masuk kedalam pasar berbaur
dengan orang banyak lalu menghilang. Patih Kencaka menyuruh semua orang
yang berada di pasar untuk duduk dan berjongkok tetapi ada satu orang
yang tidak mau duduk lalu dia dipanggil ternyata dia bernama Mbok
Werdiningsih sebagai utusan dari Dewi Utari, putri Kedaton.
Ia minta izin pulang cepat karena
sudah ditunggu oleh Dewi Utari. Patih Kencaka rupanya terpesona dengan
Mbok Werdiningsih dia lalu melupakan Jagal Abilawa. Setelah pencarian
selesai, dia lalu pulang dan membuat surat kepada Dewi Utari untuk
meminta Mbok Werdiningsih. Dewi Utari sudah mengizinkan lalu menyuruh
Mbok Werdiningsih untuk datang ke Kepatihan menemui Patih Kencaka sambil
membawa buah tangan berupa seperangkat baju buatan Dewi Utari. Mbok
Werdiningsih masuk ke dalam kepatihan lalu dia dikunci dari dalam
sehingga tidak bisa keluar. Mbok Werdiningsih ketakutan lalu datang
Patih Kencaka yang akan memegangnya, tetapi Mbok Werdiningsih akhirnya
lari ke Ketandan meminta perlindungan kepada Wijakangka. Oleh
Wijajangka, Mbok Werdiningsih disuruh berlindung kepada Jagal Abilawa di
Pejagalan.
Tidak lama kemudian, Patih Kencaka
datang ke Ketandan dan mengobrak-abrik tempat tersebut mencari Mbok
Werdiningsih, dia sangat marah karena tidak menemukannya. Oleh
Wijajangka, dia diberi tahu bahwa Mbok Werdiningsih lari ke Pejagalan.
Patih Kencaka yang masih kesal tidak bisa menemukan Mbok Werdiningsih
malah memerintahkan Wijajangka untuk melepas gelung kelingnya sebagai
tanda raja dengan gelung tekuk tetapi Wijajangka tidak mau. Patih
Kencaka marah lalu memotong gelung keling Wijajangka yang seketika itu
pula membuat Wijajangka pingsan.
Setelah siuman dia meminta maaf dan segera mengejar Mbok Werdiningsih ke Pejagalan. Sesampainya di Pejagalan dia bertemu dengan Jagal Abilawa. Terjadi perang mulut dan berlanjut perang tanding. Akhirnya Patih Kencaka mati lalu jasadnya dibuang ke udara dan jatuh di hadapan Prabu Mangsahpati. Segera sang Prabu memanggil saudara Patih Kencaka yaitu Rupakenca membahas siapa yang telah membunuh Rajamala dan Kencaka. Kemudian diketahui bahwa hal tersebut disebabkan oleh Mbok Werdiningsih.
Bratasena melawan Raden Rajamala
Kemudian Mbok Werdiningsih ditangkap
dan dibawa ke alun-alun untuk menjalani hukuman mati obong. Tetapi
sebelum api menyentuh Mbok Werdiningsih, Batara Narada turun
mengambilnya. Jagal Abilawa yang mendengar tentang hukuman Mbok
Werdiningsih bela pati lalu menangkap Rupakenca yang sedang membopong
mayat kakaknya, Kencaka lalu keduanya ditangkap oleh Jagal Abilawa dan
dimasukkan ke dalam api yang menyala-nyala. Akhirnya Rupakenca tewas.
Prajurit raksasa di Kepatihan tidak terima lalu menyerbu Jagal Abilawa.
Terjadilah Perang Sampak. Namun semua prajurit Kepatihan kalah.
Prabu Mangsahpati akhirnya
mengumpulkan Utara dan Wretsangka untuk memanggil Wijajangka dan Jagal
Abilawa karena dia tahu mereka itu masih cucu-cucunya. Kepada
cucu-cucunya tersebut, Prabu Mangsahpati berkata,”Kemarilah, hai
cucu-cucuku. Soal matinya Rajamala, Kencaka dan Rupakenca memang sudah
menjadi kehendak Dewa. Sebab mereka tidak mempunyai tandingan dalam
perang Bharatayuda nanti. Jadi sekarang mereka diambil oleh Jawata.
Kamu, Wijajangka, saya beri hutan di Amarta. Jadikanlah itu sebuah
kerajaan. Abilawa saya beri hutana di Ngagulpawenang dan Kendi Wratnala
saya beri hutan di Madiganda. Kalian semua kembalilah memakaia namamu
yang dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar