Semua yang berhubungan dengan wayang purwa, dalang2 kondang, cerita wayang ada disini
Sabtu, 06 September 2014
Sabetan Tangan Setan Ki Manteb
TAHUN 1987, mantan menteri penerangan Boedihardjo menjuluki Ki Manteb Soedharsono “dalang setan” seusai menyaksikan dalang asal Karanganyar, Surakarta, ini, mendalang. Julukan itu bukan karena sang dalang jahat, tetapi justru sebagai bentuk kekaguman Boedihardjo terhadap sabetan (cara menggerakkan wayang kulit) yang dimiliki Manteb. Menurut Boedihardjo ketika itu –seperti diceritakan oleh Manteb– “dalang setan” merupakan singkatan dari dalang dengan sabetan yang tidak ada tandingannya. Sejak itulah julukan “dalang setan” melekat pada dirinya.
Kini, sudah lebih dari 20 tahun julukan itu disandang Manteb. Kepiawaian memainkan wayang kulit dari dalang berumur 62 tahun ini tidak luntur. Di tangan Manteb, anak wayang seperti memiliki roh sehingga terlihat hidup. Manteb sungguh terampil menggerakkan wayangnya. Di tangannya, wayang-wayang menjadi lincah bergerak kesana ke mari dengan cepat.
“Sabetan itu bukan semata-mata soal ketrampilan, tetapi lebih pada bagaimana memberi roh pada wayang. Orang dapat terampil memainkan wayang dalam sebulan. Namun wayang di tangannya hanya wayang mati. Wayang tanpa roh,” ujar Manteb di pendapa joglo rumahnya, kompleks Perum Permata Buana, Tohudan, Colomadu, Karanganyar, Surakarta.
Khusus mengenai sabetan, Manteb mengaku belajar dari hobinya menonton film kungfu yang dibintangi Bruce Lee dan Jackie Chan. Aksi-aksi kungku itulah yang kemudian diterapkan saat mendalang. Jauh sebelum itu, Manteb berguru teknik sabetan pada Ki Warseno Kethek, seorang dalang kondang asal Wonogiri. Pada masanya, Warseno dikenal memiliki sabetan yang hebat.
“Saya mengembangkan teknik sabetan itu dari film-film Bruce Lee dan Jacky Chan. Gerakan kungku itulah yang memberi saya inspirasi dalam sabetan,” kata ayah enam anak ini.
Manteb mengenal wayang sejak kecil, karena lahir dan tumbuh dari keluarga dalang. Kakeknya adalah soerang dalang kondang. Ayahnya, Ki Hardjo Brahim Hardjowijoyo, seorang dalang yang cukup disegani pada zamannya. Sedangkan ibunya, Nyi Darti, seorang pengrawit dan penabuh gamelan yang andal. Sebagai anak pertama, Manteb mendapat didikan keras dari orang tuanya agar bisa menjadi dalang. Sejak kelas 2 SD, Manteb selalu diajak Ki Hardjo ikut mendalang. Pada usia 12 tahun, Manteb mendalang pertama kali di muka umum.
Selepas nyantrik (magang) pada Ki Warseno Kethek, Manteb berguru pada dalang kondang lainnya, yaitu Ki Nartosabdo dan Ki Sudarman Gondodharsono di Semarang. Pada tahun 1972, Manteb menjadi juara Pakeliran Padat se-Surakarta. Sejak itulah namanya mulai dikenal. Namun dia tetap harus berjuang keras, karena pada periode tahun 1970-1980-an, dunia pedalangan wayang kulit dikuasai oleh Ki Narto Sabdo dan Ki Anom Suroto.
“Ki Narto sangat mahir dalam dramatisasi, sedangkan Ki Anom ahlinya olah suara. Saya harus berbeda dari mereka, hingga akhirnya saya memilih mendalami seni menggerakkan wayang atau olah sabet,” tutur Manteb.
Sejak tahun 1983, ia melakukan kegiatan rutin, yaitu nanggap wayang dirumahnya pada setiap Selasa Legi, bertepatan dengan weton-nya (hari kelahiran dalam kalender Jawa). Acara ini dikenal dengan nama Malem Selasa Legen, menghadirkan dalang-dalang dari berbagai daerah.
Popularitas Manteb sebagai dalang tingkat nasional mulai diperhitungkan masyarakat penggemar wayang sejak menggelar pertunjukan “Banjaran Bima” sebulan sekali selama setahun penuh (12 episode) di Jakarta pada tahun 1987. Di awal reformasi, tahun 1998, Manteb menggelar pertunjukkan kolosal di Museum Keprajuritan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), dengan lakon “Rama Tambak”. Pada tahun 2004, Manteb menciptakan rekor Mendalang selama 24 jam 28 menit tanpa istirahat untuk Museum Rekor Indonesia (MURI).
Dalam setiap pertunjukannya, Manteb tampil dengan pakeliran wayang kulit klasik, namun selalu kaya inovasi. Pertunjukannya senantiasa indah, segar dan aktual. Sebagai dalang, ia adalah pelopor dalam melakukan inovasi visualisasi. Berbagai unsur pertunjukan modern telah diadopsinya untuk memperkaya nuansa pakeliran tanpa menghilangkan isi dan nuansa Jawa. Dengan kreativitas semacam itu, ruang artistik kelir terlihat semakin indah. Apalagi dengan dukungan tata cahaya yang digarap secara khusus.
Untuk musik pengiring, Manteb sering menghadirkan peralatan musik modern ke panggung, misalnya tambur, biola, terompet, ataupun simbal, sehingga pertunjukan wayang kulit menjadi lebih atraktif dan dinamis. Awalnya, terobosan ini banyak mengundang kritik dari para dalang senior. Namun akhirnya banyak yang mendukung inovasi tersebut.
Meski menekankan sisi keindahan visual, namun pakeliran gaya Manteb tidak hamya tampil sebagai tontonan yang menghibur. Pakelirian Manteb juga memberikan ruang bagi penontonnya untuk melakukan dialog reflektif dengan realitas hidup. Pertunjukannya sarat dengan pesan moral, kritik sosial, berikut jalan keluar. Dalam setiap pertunjukannya, Manteb selalu mencoba memaknai dan menafsir ulang lakon yang disajikan. Tak jarang Manteb mengadopsi pola penyusunan alur dramaturgi film dalam lakon-lakon wayangnya, seperti penggunakan alur flashback. Penyusunan plot cerita yang kontekstual dengan isu-isu atau kondisi yang sedang berkembang di masyarakat menjadikan pertunjukakanya selalu up to date.
“Wayang sesungguhnya bukan sekadar tontonan, tetapi juga tuntunan. Wayang adalah ruang untuk belajar tentang kehidupan. Mulai budi pekerti hingga perilaku kenegaraan dapat dipelajari dari wayang,” kata Manteb.
Lebih dari 50 tahun sebagai dalang, popularitas Manteb masih bertahan hingga kini. Masyarakat penontonnya tersebar di berbagai daerah di Indonesia, tidak hanya di pulau Jawa namun juga di luar Jawa. Sudah ribuan pementasan Ia gelar, mulai acara ruwatan, pesta hajatan, kampanye politik atau pun gelaran pentas untuk sosialisai program pemerintah seperti Keluarga Berencana (KB), Anti HIV Aids dan Narkoba, dan sosialisasi pemilu. Dari sekian banyak lakon yang pernah ia mainkan, beberapa lakon menjadi sangat fenomenal, antara lain “Banjaran Bima”,“Ciptoning”, “Wiratha Parwa”, dan “Dewa Ruci”. Sebuah lakon khusus, yaitu “Celeng Degleng”, merupakan lakon carangan Manteb sendiri ketika mengintepretasi lukisan-lukisan karya Djoko Pekik “Berburu Celeng” yang menggambarkan tumbangnya rezim Soeharto.
Manteb juga sering membawakan pentas wayang kulit di luar negeri. Amerika Serikat, Jepang, dan Suriname merupakan negara yang paling sering mengundangnya. Selebihnya adalah Spanyol, Jerman, Belanda, Perancis, Belgia, Hongaria dan Austria. Ketika kesenian wayang ditetapkan oleh UNESCO sebagai Masterpieces of the Oral and Intangible of Heritage of Humanity, Manteb terpilih mewakili komunitas dalang indonesia untuk menerima penghargaan tersebut.
Sebagai dalang, beberapa penghargaan pun pernah diterimanya. Salah satunya adalah penghargaan Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Soeharto tahun 1995. Tahun 2010 bulan Mei ini, Manteb bertolak ke Jepang untuk menerima penghargaan “Nikkei Asia Prize Award 2010” dalam bidang kebudayaan. Nikkei Asia Prize Award merupakan penghargaan kehamatan bagi orang Asia yang memiliki prestasi luar biasa dan memberikan kontribusi penting dalam bidang pertumbuhan regional, ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi, serta budaya. Manteb merupakan orang Indonesia keempat yang menerima penghargaan ini, setelah bintang film Christine Hakim, ekonom Wijoyo Nitisastro, dan arsitek Laretna T Adishakti.
Manteb sadar usianya akan terus bertambah. Maka, ia telah menyiapkan ruang bagi lahirnya manteb-mateb yang lain. Saat ini misalnya, ia menjadi guru bagi sekitar 60 murid yang datang dari usia anak-anak dan remaja.
“Wayang kulit jangan sampai mati. Kita para orang tua harus tahu kapan saatnya untuk regenerasi. Jangan sampai lupa diri,” ujar dalang kelahiran Palur, Mojolaban, Sukoharjo, 31 Agustus 1948 ini. (Ganug Nugroho Adi)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar