Ki Enthus Susmono
ENTHUS SOESMONO, (1966 - ), lahir pada Selasa Legi, tanggal 21 Juni
1966 di Desa Dampyak, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal. Ia adalah anak
satu-satunya Soemarjadihardja, dalang wayang golek terkenal di Tegal,
dengan istri ketiga yang bernama Tarminah.Sejak
berumur 5 tahun ia telah sering mengikuti pentas ayahnya. Oleh karena
itu ia sangat akrab dengan dunia pedalangan. Kesukaannya menggambar,
menatah dan mewarnai (nyungging) wayang kulit menghasilkan karya
pertama tokoh Indrajid, yang dikerjakan pada saat ia duduk di kelas IV
SD. Setelah sekolah di SMP Negeri 1 Tegal (1979-1981) ia mulai menekuni
karawitan secara metodik, yang diasuh oleh dua orang guru keseniannya,
Mawardi dan Prasetyo. Ketrampilannya menabuh gamelan itu kemudian
digunakan untuk melatih rekan-rekan di SMA Negeri 1 Tegal (1982-1985),
yang semula tidak pernah mendapat kegiatan ekstrakurikuler karawitan
karena tidak mempunyai grup musik yang merupakan kolaborasi antara
karawitan dan band.
Kemampuan pedalangannya tidak didapat dari lembaga pendidikan formal
seperti SMKI, kursus pedalangan, maupun pelajaran ayahnya, tetapi karena
ia sering mengikuti pentas ayahnya dan jeli mengamati sajian pakeliran
para dalang lain. Hampir setiap ada pertunjukan wayang di daerahnya
selalu disaksikan. Selain itu ia juga berlatih secara serius kepada
Sugino Siswotjarito (Banyumas) dan Ki Gunawan Suwati (Slawi), aktif
mendengarkan kaset komersial rekaman pakeliran Ki Nartosabdo (Semarang)
dan Ki anom suroto (Surakarta), serta sering menyaksikan para dosen ASKI
Surakarta yang sedang memberikan materi kuliah praktik pedalangan di
Kampus ASKI, Sasonomulyo Keraton Surakarta (1982-1983)
Keinginan tampil sebagai dalang wayang kulit purwa tidak dapat dicegah
ketika kelas dua SMA, di sekolahnya ada acara lustrum kelima SMA Negeri 1
Tegal, yang dilaksanakan pada tanggal 24 Agustus 1983. Pada saat itu ia
menyajikan pakeliran ringkas selama 4 jam dengan lakon Gatutkaca
Winisudha, yang diiringi kolaborasi karawitan dan band oleh rekan-rekan
SMA-nya. Ia menekuni pedalangan sebagai profesi karena terpaksa harus
menggantikan peran ayahnya yang telah meninggal dunia pada 10 Februari
1984. saat itu ayahnya banyak meninggalkan job pentas yang belum sempat
dilaksanakan, sementara uang muka sudah terlanjur diterima oleh ibunya.
Oleh karena itu dengan berbekal keberanian ia menggantikan peran ayahnya
sebagai dalang wayang golek. Sejak itu profesi sebagai dalang merupakan
penyangga kebutuhan hidup bersama ibunya. Oleh karena itu ia mulai giat
berlatih dan mencari kiat-kiat yang belum pernah ditampilkan dalam
pakeliran wayang kulit maupun golek.
Pada tahun 1984 ia mengikuti lomba pakeliran padat dalang remaja
se-Jawa Tengah di Klaten, sebagai wakil Kabupaten Tegal, dengan
menyajikan lakon Brajadenta mBalela. Dalam lomba tersebut ia hanya mampu
meraih Juara harapan II. Namun demikian kegagalannya itu tidak membunuh
keinginanya menjadi dalang, sebaiknya justru sebagai peringatan untuk
lebih giat berlatih. Ia menjadi semakin aktif datang ke kampus ASKI
Surakarta serta minta saran, pendapat, bahkan contoh-contoh teknik
pakeliran yang baik kepada Ki Manteb Soedarsono.
Mengembara
Setelah lulus SMA Enthus tidak dapat melanjutkan kuliah karena tidak
mempunyai biaya. Pada saat itu keluarganya hidup dibawah garis
kemiskinan. Oleh karena itu agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dan
sesuai dengan harapan almarhum ayahnya, ia mendaftarkan diri menjadi
polisi. Namun tidak diterima karena ia dianggap tidak bersih lingkungan;
pada waktu itu kakak sulungnya, darjoprayitno, baru bebas dari
Nusakambangan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ia bekerja menjadi
penyiar selkaligus penata musik dan pemain teater di RSPD Tegal
merangkap sebagai penyiar radio Anita Tegal. Namun ternyata hal tersebut
belum mencukupi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu ia mencari
pekerjaan tambahan sebagai buruh. Natah dan nyungging wayang golek di
berbagai tempat dalang wayang golek yang memerlukan jasanya.
Untuk memperbaiki kehidupannya, pada setiap malam ia selalu
menyempatkan diri untuk belajar Alqur’an dan berdiskusi tentang ilmu
agama. Disamping itu ia juga sering meminta bimbingan para kyai di
berbagai pondok pesantren.
Mulai Terkenal
Pada tahun 1988 ia mengikuti lagi lomba pakeliran padat se-Jawa
Tengah, dengan menyajikan lakon Ciptoning karya Bambang suwarno. Dalam
lomba tersebut ia berhasil meraih Juara I sekaligus dalang Favorit.
Keberhasilannya meraih juara pada lomba pakeliran padat etrsebut mampu
mengangkat namanya ke lingkup yang lebih lus, kemampuannya sebagai
dalang wayang kulit menjadi dikenal masyarakat terutama di wilayah
pantai utara Jawa Tengah.
Ketika karier pedalangan Ki Manteb Soedarsono mulai dikenal
dikalangan yang lebih luas dan menempati posisi sejajar dengan Ki Anom
Suroto, Enthus Susmono berupaya dapat meniru berbagai aspek
pakelirannya. Maka setiap Manteb Soedarsono pentas selalu dilihat dan
diperhatikan. Hampir semua aspek pakeliran khas manteb Soedarsono, baik
sabet, gaya bahasa bahwan warna suara, ditirunya semirip mungkin. Khusus
sabet yang menggarap aspek bayangan, banyak mengacu pada gaya sabet
bambang suwarno (dosen STSI Surakarta) yang dikenal dengan sabet
pakeliran padat, sedangkan sabet peperangan mengacu gaya sabet Ki
Mulyanto mangkudarsono (Sragen) yang lebih dikenal dengan sabet gaya
Sragenan. Namun demikian bagi Enthus Susmono, hanya bambang Suwarno dan
Manteb Soedarsono yang dianggap sebagai guru serba paling besar
pengaruhnya terhadap nuansa pakelirannya. Bahkan model figur-figur
wayangnya pun, terutama wayang-wayang desain baru banyak mengacu dari
figur-figur wayang karya bambang Suwarno dan Manteb Soedarsono. Model
figur-figur kayon mengacu dari karya dan koleksi bambang Suwarno,
sedangkan model wayang setanan dan para raksasa mengacu dari koleksi
Manteb Soedarsono.
Perkawinan
Pada tahun 1990 ia kawin dengan gadis pilihannya sendiri, Romiyati,
menurunkan dua anak laki-laki: Firman Jendra Satria dan Firman Haryo
Susilo. Mereka menempati rumah peninggalan ayahnya, Soemarjadihardja, di
Desa Damyak, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal. Namun perkawinannya
tersebut hanya berjalan lima tahun. Setelah dua tahun menduda, pada
tahun 1997 ia kawin dengan Nurlaela, anak perempuan Sukiman Tamid, guru
spiritualnya. Perkawinannya itu tanpa diawali proses pacaran sebagaimana
layaknya orang akan berumah tangga. Ia mempunyai konsep bahwa cinta
akan tumbuh seiring waktu berjalan. Perkawinannya yang kedua itu
menurunkan seorang anak perempuan bernama firman Nurjannah, bahkan saat
ini istrinya sedang mengandung anak kedua. Mereka tinggal serumah dengan
Sukiman Tamid, di jalan Prajasumarta II, Desa Bengle, Kecamatan Talang,
Kabupaten Tegal.
Kariernya sebagai dalang mulai menanjak setelah ia sering tampil
dalam pertunjukan wayang kulit dua layar yang diselenggarakan oleh
PANTAP dan ditayangkan langsung oleh TVRI Stasiun Semarang dari halaman
kantor Sekwilda Jawa Tengah di Semarang (1994-1998)
Desainer wayang
Perhatiannya pada sarana utama pakeliran (wayang0 cukup besar. Ia
tidak cukup puas dengan figur-figur wayang yang sudah ada, sehingga
berusaha mengembangkan figur wayang tradisi dan atau menciptakan desain
baru. Penciptaan tokoh-tokoh masa kini dalam wayangnya adalah salah
satu upaya untuk memperkenalkan wayang pada generasi muda. Sebab
tokoh-tokoh pewayangan seperti Werkudara, Gatutkaca, dan Arjuna mulai
terdesak oleh ahdirnya tokoh-tokoh fiktif dari luar budaya Nusantara
seperti supermen, Doraemon, Ninja Boy, dan Shinchan. Dengan diciptakan
tokoh-tokoh fiktif masa kini dalam bentuk wayang kulit, maka anak-anak
akan senang melihat wayang dan setelah itu mereka baru digiring
penghayatannya pada karakteristik wayang yang sesungguhnya.
Wayang-wayang baru kreasinyanya tersebut digambar sendri sedangkan
pemahatannta dan pewarnaannya dibantu oleh tiga orang penatah dan empat
orang penyungging, yang berasal dari daerah Sukoharjo dan Klaten. Sampai
saat ini ia telah menyelesaikan hampir 100 buah wayang kreasi serta
memiliki sebelas kothak wayang dengan berbagai gaya dan tipe, wayang
kulit gaya Kedu, wayang Kulit gaya Cirebon, dan wayang golek Cepak.
Wayang-wayang produksinya itu disamping untuk emmenuhi kebutuhan pentas
juga sebagai barang dagangan. Diantara karya-karyanya antara lain
Kayon Ganesha 1998
Kayon hawa Bayu 1999
Kayon Masjid 2000
Kayon ganesha Kecil 2000
Kayon Liong 2000
Kayon Loteng 2001
Supermen 1996
Gathutkaca Terbang 1996
Batman 1996
Satria Baja Hitam 1996
Sumo 1996
Alien 1998
Dasamuka 1998
Indrajid 1998
Patih dan Tumenggung 1998
Panakawan Planet 1999
Yuyu Rumpung 1999
Kreta Jaladara 1999
Kreta Jatisura 1999
Liong 1999
Limbuk dan Suaminya 1999
Baris Kampak 1999
Ampyak Jaran 2000
Osama Bin Laden 2001
George Bush 2001
Panakawan Teletubbies 2001
Togog dan Bilung 2002
Pandawa 2002
Pendhita Wungkuk 2002
Bathara kala 2002
Kayon Planet
Tetap mengkritik dan Urakan
Unthus Susmono sebagai dalang sangat sadar bahwa kemampuan
pedalangannya diutamakan untuk sumber kehidupannya. Oleh karena itu ia
tidak pernah menolak untuk diundang pentas siapapun dan golongan atau
partai apa pun. Meskipun demikian ia tetap konsisten pada misinya, yakni
sebagai pengontrol sosial, sehingga ia tetap menyampaikan kritik kepada
siapapun, baik eksekutif, legislatif , pejabat partai, maupun
masyarakat umum. Selain itu gaya urakan tetap dipertahankan sebagai khs
pedalangnannya, meskipun hal itu sering mendapat hujatan dari berbagai
pihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar