Tirta Pawitra Mahening Suci
Sepenggal kisah dari lakon
Ki Nartosabdho – Dewa Ruci, kisah penuh nilai dan
petuah bagi kita semua dalam menjalani hidup dan kehidupan.
Sang Bima nyemplung di samudra nan
ganas mengikuti perintah gurunya, Begawan Durna, untuk mencari “air kehidupan”
guna menggapai kesempurnaan hidup, Tirta Pawitra Mahening Suci. Badan
terombang-ambing dihempas dan diterjang ganas ombak, seolah kapas dipermainkan
tiupan angin kencang di angkasa nan maha luas. Werkudara sudah pasrah akan
nasib dirinya. Namun tekadnya sungguh luar biasa, tidak goyah oleh kondisi
tubuh yang makin lemah.
Tiba-tiba dihadapannya, muncullah seekor naga yang luar biasa besarnya menghadang laju Bima. Kyai Nabat Nawa, naga raksasa itu, langsung menyerang sosok kecil dihadapannya dan menggigit betis Adik Yudhistira itu. Belum cukup dengan itu, diraihnya badan Werkudara untuk dibelit dengan maksud menghancurkan raga manusia yang menjadi mangsanya.
Namun badan Werkudara tidak ikut hancur karena tekadnya tidak lantas luntur. Semangatnya untuk mengabdi kepada guru begitu kuat mengalahkan rasa sakit serta rasa lelah yang sangat. Dikerahkan segala upaya, dikumpulkan seluruh tenaga untuk melepas himpitan naga. Berhasil ! Seketika kemudian Bima melesat menuju leher sang naga untuk ditikam dengan kuku Pancanaka.
Raung kesakitan yang memekakan telinga mengiringi jatuhnya sang naga. Mengiringi kematian badan raksasa itu hingga mengambang memenuhi pandangan. Disekelilingnya, air laut memerah oleh darah.
Werkudara begitu lelah. Sudah hilang kesadarannya. Serasa jiwa melayang, tidak ingat apakah masih hidup atau sudah tiada. Cukup lama jiwa sang ksatria itu melanglang tak tentu rimba.
Hingga saat tersadar, betapa terkejut Bima ketika dirinya merasa menginjak tanah, menapak kembali kehidupan. Pandangannya melihat bahwa dirinya berada dalam suatu pulau kecil ditengah lautan luas di dasar samudra itu. Alangkah indahnya pulau itu yang disinari oleh cahaya-cahaya kemilau menghiasi nuansa sekeliling.
Saat rasa begitu terbuai oleh ketakjuban, tiba-tiba Bima semakin dikejutkan oleh datangnya Bocah Bajang yang diiringi oleh cahaya yang mengalahkan cahaya yang ada. Cahaya diatas Cahaya. Bojah Bajang itu sungguh kecil, terlalu kecil bila dibandingkan dengan perawakan Bima. Bocah Bajang berjalan perlahan menghampirinya.
“Aku sungguh heran sekali, sepertinya sudah saatnya kematian menjemputku. Sama sekali aku tidak merasakan kehidupan lagi. Namun saat kutelusuri pandangan ke badan sampai ke ujung kaki, ternyata aku masih menyentuh bumi. Hilang wujudnya naga yang menggigit pahaku, tak dinyana aku sekarang tersangkut di pulai kecil yang begitu indah. Tetumbuhan berbuah bergelantungan diselimuti cahaya. Namun terangnya cahaya tadi masih kalah dengan cahaya yang datang mengiringi Bocah Bajang menuju kesini”
“Ayo mengakulah Bocah Bajang, siapa dirimu sebenarnya. Kamu bermain kesini siapa yang mengantarkan dan mengapa kamu tidak terpengaruh oleh ikan-ikan yang ganas yang sedang berpesta melahap darah naga”
“Werkudara, Kamu jangan gampang pergi bila belum mengetahui dengan tepat tempat yang akan kamu tuju. Kamu jangan gampang makan tanpa tahu apa manfaat yang terkandung dalam makanan itu. Jangan sekali-kali berpakaian, bila tidak mengetahui bagaimana cara yang benar dalam berbusana. Ibaratnya, pernah ada seorang dari gunung yang ingin membeli emas di kota. Saat terjadi transaksi dengan pedagang, orang gunung tadi hanya diberi selembar kertas berwarna kuning yang dianggap sebagai emas murni. Maka berhati-hatilah terhadap segala sesuatu, semua tindakan harus diiringi berdasarkan ilmunya.”
“Perkenalkan Werkudara, saya adalah Dewa Kebahagian berjuluk Sang Hyang Bathara Dewa Ruci”
Seketika duduk bersimpuh Bima dihadapan sosok suci nan kecil itu. Seumur hidup, Bima tidak pernah “basa karma” kepada siapa-pun, bahkan kepada Bathara Guru sekalipun. Namun di hadapan sosok suci ini Bima sungguh tunduk dan sangat takjim bertutur.
Kemudian Werkudara menjelaskan maksudnya hingga sampai diujung samudra dan bertemu dengan Dewa Ruci ini.
Dewa ruci mengemukakan bahwa Werkudara wajib mendengarkan apa yang akan diuraikan terkait dengan apa yang sedang dicarinya :
Apakah ilmu kesempurnaan hidup itu ? Ilmu kesempurnaan hidup ini akan diperoleh bila telah sempurna hidupnya. Hidup sudah tidak tergantung lagi kepada keinginan-keinginan dunia lagi. Kalau seandainya kehidupan manusia masih menggunakan daya panasnya matahari, daya dari semilir angin, segarnya air dan masih menginjak bumi dibawah langit, manusia belum bisa dibilang sempurna karena yang Sempurna itu hanyalah Sang Pencipta. Meskipun ada manusia yang katanya mempunyai ilmu yang linuwih, mampu melakukan ini, mengerjakan itu, pasti ada kekurangannya, ada cacatnya.
Apakah “Tirta Pawitra Mahening Suci” itu ? Tidak akan dapat diperoleh wujud air itu dimanapun, termasuk ditempat ini. “Tirta Pawitra Mahening Suci” itu hanyalah sebuah perlambang yang harus dimengerti maksudnya.
Tirta : air, kehidupan. Dimana ada air disitu ditemui kehidupan
Pawitra : bening. Air bening, tidak hanya dilihat dari wujud air yang bening namun juga harus dilihat dari kegunaannya menghidupi semua makhluk, manusia, hewan dan tumbuhan.
Mahening : dari kata Maha dan ening yang mewujudkan arti ketentraman lahir dan batin
Suci : terhindar dari dosa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar